Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/07/2012, 06:36 WIB

Indira Permanasari

Penyakit campak belakangan merebak di sejumlah daerah di Tanah Air. Di Garut, Brebes, dan Sulawesi Tengah, misalnya, sempat dilaporkan kejadian luar biasa campak. Cakupan imunisasi yang belum memadai menjadi salah satu penyebabnya.

Penyakit campak tak bisa dipandang sebelah mata. Jika tidak ditangani dengan benar, hal itu dapat menimbulkan komplikasi berat.

Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko mencontohkan, 5.818 penderita campak dirawat di rumah sakit pada 2009-2011. Sebanyak 16 penderita di antaranya meninggal.

Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, persentase anak usia 12-23 bulan yang mendapat imunisasi campak di Indonesia rata-rata 74,4 persen.

Campak merupakan penyakit akut akibat virus anggota keluarga Paramyxovirus. Virus itu ditularkan lewat udara. Soedjatmiko yang juga editor buku Panduan Imunisasi Anak (2011) terbitan IDAI mengungkapkan, gejala campak antara lain demam, batuk, pilek, dan mata merah. Ruam khas campak muncul tiga hari sejak demam. Ruam mulai timbul di leher, belakang telinga, serta perbatasan rambut di kepala dan dahi. Ruam kemudian menyebar ke seluruh muka, leher, dada, perut, punggung, dan kaki.

Campak kerap kali dianggap biasa dan remeh. Padahal, virus campak dapat menimbulkan komplikasi akibat infeksi saluran pernapasan, telinga tengah, otak, dan gangguan kekebalan tubuh yang memudahkan penularan penyakit lain.

Serangan virus ke sel mukosa usus, misalnya, mengakibatkan diare berkepanjangan. Anak pun rawan kurang gizi. Komplikasi lain ialah munculnya gejala tuberkulosis paru setelah mengidap penyakit campak berat yang disertai pneumonia.

Penyulit lain yang bisa muncul setelah campak berat—walaupun terbilang jarang—ialah sindrom sklerotik pan-ensefalitis (peradangan otak) yang mengakibatkan penurunan fungsi saraf pusat. Gangguan itu dapat timbul belakangan, bertahun-tahun setelah infeksi. Begitu memasuki usia sekolah, anak mendadak mengalami kesulitan belajar akibat campak berat yang dialami ketika bayi.

Cegah dengan imunisasi

Campak dan komplikasinya dapat dicegah dengan pemberian vaksin campak. Vaksin campak ada yang diberikan dalam bentuk monovalen (didesain melawan satu jenis mikroorganisme), kombinasi vaksin campak dengan rubela (MR), kombinasi campak dengan gondongan dan rubela (MMR), serta kombinasi campak dengan gondongan, rubela, dan cacar air (MMRV).

Ketua Satgas Imunisasi IDAI Sri Rezeki S Hadinegoro dalam acara seminar bertajuk ”Menjawab Pemikiran yang Keliru terhadap Program Imunisasi” mengatakan, waktu imunisasi campak penting mengingat adanya antibodi ibu yang diturunkan kepada bayi. Antibodi campak dari ibu bertahan sembilan bulan di dalam tubuh bayi.

”Oleh karena itu, vaksin campak diberikan setelah bayi berusia sembilan bulan,” ujarnya. Untuk menjamin perlindungan pada masa anak, pemberian vaksin campak diulang pada usia enam tahun.

Panduan Imunisasi Anak (2011) menyebutkan, imunisasi campak tidak dianjurkan jika ada risiko reaksi alergi yang berat (shock anafilaksis) terhadap vaksin atau komponen vaksin dan penderita penyakit akut berat dengan atau tanpa demam.

Anak dengan penyakit akut ringan, pengobatan antibiotik, HIV tanpa gejala AIDS, sakit kronis jantung, paru, dan ginjal, sindroma down, bayi prematur, baru mengalami pembedahan, kurang gizi, dan riwayat sakit kuning saat lahir masih direkomendasikan mendapat vaksin.

Kejadian ikutan

Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) campak, berdasarkan Immunization Safety Surveillance WHO (1999), yang mungkin muncul ialah reaksi lokal, seperti sakit, bengkak kemerahan pada tempat suntikan, ruam, dan demam yang kejadiannya mencapai 5-15 persen di dunia.

Reaksi lebih berat, seperti kejang demam, penurunan trombosit, anafilaksis (reaksi alergi akut), atau ensefalopati (gangguan otak) sangat jarang terjadi. Risiko ensefalopati 6-12 hari sesudah imunisasi, misalnya, kurang dari 1 dalam 1 juta dosis.

Menurut Sri, efek samping vaksin dipantau oleh Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI yang beranggotakan ahli vaksin, obat, epidemolog, peneliti, dan dokter.

Penghambat pemberian vaksin antara lain isu vaksin dapat menimbulkan penyakit tertentu. Vaksin MMR, misalnya, pernah dituduh menyebabkan autisme. Penelitian ahli pencernaan Inggris, Andrew Wakefield, yang mengaitkan MMR dengan autisme tahun 1998 sempat menggegerkan. Namun, setelah diaudit General Medical Council Inggris, penelitian Wakefield dinyatakan melanggar etika. Belakangan, pada 5 Januari 2011, British Medical Journal memublikasikan kebohongan data penelitian Wakefield.

”Sejauh ini tidak ada bukti menyatakan efek buruk antara imunisasi dan gangguan kesehatan lain. Sebaliknya, banyak penelitian yang mendukung bahwa dengan imunisasi, anak akan terhindar dari ancaman penyakit berbahaya, kecacatan, dan kematian,” kata Sri.

Dalam hal ini termasuk ancaman campak.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com