Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Minim, Dukungan Bagi Keberhasilan Menyusui

Kompas.com - 23/07/2012, 16:59 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mendapatkan ASI eksklusif adalah hak setiap anak yang telah dijamin pemerintah. Sayangnya, dukungan terhadap kaum perempuan/ibu dalam memberikan ASI eksklusif saat ini dinilai masih minim. 

Pemerintah sudah beritikad baik  mengeluarkan PP no. 33 tahun 2012 tentang ASI eksklusif. Namun peraturan itu masih memiliki celah, dan memberi beban yang begitu besar kepada ibu. Untuk itu,  Ketua Umum Ikatan Konselor Menyusui Indonesia (IKMI) Nia Umar menyerukan dukungan yang lebih besar dan nyata bagi kaum ibu/perempuan dalam  menyukseskan program ASI, demi kesehatan anak Indonesia.

"Sayangnya, dalam PP itu ibu yang menjadi penanggung kewajiban. Padahal penanggung kewajiban tidak serta merta hanya ibu sendirian. Kami merasa dukungan untuk ibu/perempuan tidak menyeluruh dan komprehensif," kata Nia saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/7/2012).

Beragam kajian membuktikan bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI bukan sekedar makanan, tetapi juga penyelamat kehidupan. Setiap tahun, lebih dari 25.000 bayi Indonesia dan 1,3 juta bayi di seluruh dunia dapat diselamatkan dengan pemberian ASI eksklusif. Bahkan, kajian WHO terhadap lebih dari 3000 penelitian menunjukkan, pemberian ASI selama 6 bulan adalah jangka waktu yang paling optimal untuk pemberian ASI eksklusif. Hal ini karena ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan bagi bayi untuk bertahan hidup pada 6 bulan pertama, mulai dari hormon, antibodi, faktor kekebalan hingga antioksidan.

Merujuk hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Nia mengungkapkan angka menyusui untuk bayi kurang dari 6 bulan masih sangat rendah, yakni hanya 15,3 persen. Padahal, kata dia, 40-50 tahun lalu, menyusui adalah normal di negeri ini dan hampir seluruh perempuan/ibu menyusui bayinya.

"Tetapi dalam waktu singkat karena perubahan kultur, lifestyle, dan gaya hidup akhirnya membuat menyusui seakan-akan bukan normanya lagi. Kita lebih sering melihat anak yang mendapatkan dot daripada yang menyusu pada ibunya. Padahal normalnya semua mamalia itu setelah melahirkan menyusu pada ibunya," jelasnya.

Nia menerangkan, menyusui bukanlah sekedar aktivitas memberi ASI semata. ASI adalah hak anak untuk mereka bisa tumbuh dan berkembang. Tidak hanya tumbuh karena mendapat cairan ASI, tetapi juga berkembang secara emosional dan kognitif.

Dukungan pelaku usaha

Keberhasilan pemberian ASI eksklusif memang tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada ibu atau perempuan. Nia memandang perlu dukungan berbagai pihak, terutama para pelaku usaha. Nia melihat, saat ini masih banyak pelaku usaha yang belum memberi sepenuhnya hak anak dalam memeroleh ASI. Kalaupun ada, mungkin hanya segelintir perusahaan yang sudah menyediakan tempat khusus penitipan bayi atau ruang untuk ibu bisa memerah ASI.

"Kita hanya minta berikan waktu dan tempat yang layak untuk ibu memerah ASI-nya. Jangan sudah dikasih ruangan bagus, tapi tidak dikasih waktu atau sebaliknya," ujarnya.

Nia juga menceritakan, ia pernah mendapat pesan elektronik dari seorang ibu yang hendak memerah ASI di tempat kerja, tapi hanya diperbolehkan sekali untuk memerah ASI. Ia berharap, dengan makin maraknya kampanye ASI, para pelaku usaha semakin sadar untuk menyediakan waktu dan tempat yang layak untuk karyawati mereka dalam memerah ASI.

Jika dibandingkan negara Asia lainnya, Indonesia menurut Nia sudah jauh tertinggal dalam upaya peningkatkan pemberian ASI eksklusif. Sebagai contoh, Vietnam saat ini sudah memberikan cuti melahirkan selama 6 bulan kepada pekerja perempuan sehingga pemberian ASI bisa lebih dimaksimalkan.

"Pemerintah mereka berani mengambil keputusan yang berpihak pada anak dan perempuan dalam hal pemenuhan gizi dan nutrisi. Mereka melihat ini adalah investasi bagi masa depan mereka," katanya.

Apa yang saat ini dilakukan di Vietnam, kata Nia, seharusnya bisa menjadi sebuah pembelajaran untuk pemerintah. Karena bukan tidak mungkin suatu saat mereka akan lebih unggul baik dari sisi sumber daya manusia dan perekonomian. "Orang beranggapan cuti merugikan buat perusahaan, tapi untuk jangka panjang tidak. Kita telah meresikokan sumber daya anak-anak Indonesia sendiri," jelasnya.

Minim sosialisasi

Nia berpandangan bahwa dukungan yang diberikan pemerintah untuk menyukseskan pemberian ASI Eksklusif belum menyeluruh, dan masih setengah-setengah. Belum ada sosialisasi yang menjaring kelompok masyarakat menengah ke bawah dengan cara-cara yang komprehensif dan berkelanjutan.  Selama ini, ia melihat bahwa kampanye tentang kesehatan di Indonesia selalu dikemas dengan penuh kata-kata dan cenderung kurang menarik. Padahal, kemasan itu bisa dibuat lebih menarik misalnya dengan membuat acara talkshow di TV atau membuat iklan layanan masyarakat atau mungkin film mini seri tentang menyusui dan kesehatan gizi.

"Mudah-mudahan, di hari anak nasional ini anak-anak Indonesia mendapatkan haknya sehingga mereka bisa disusui, dan ibunya juga mendapatkan hak untuk menyusui, serta mendapatkan kasih sayang, perlindungan dan pemberian nutrisi yang tepat yang tidak perlu mahal," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com