Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ASI Eksklusif, Investasi Masa Depan Anak

Kompas.com - 24/07/2012, 06:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Faktor budaya serta persepsi yang keliru di masyarakat tentang pemberian ASI Eksklusif diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pemberian ASI di Indonesia. Baru sekitar 30 persen ibu di Indonesia yang memberikan ASI kepada bayi mereka dengan berbagai alasan.

Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan, Slamet Riyadi Yuwono, saat ditemui Kompas.com di ruang kerjanya, di Gedung Kementerian Kesehatan, Senin, (23/7/2012).

Slamet mengatakan, para Ibu atau perempuan harus tahu bahwa pola pemberian makan terbaik untuk bayi baru lahir sampai usia 6 bulan cukup hanya dengan pemberian ASI saja. Banyak penelitian membuktikan bahwa ASI dapat menurunkan risiko kematian pada bayi hingga 22 persen.

"Harus dimulai agak ke hulu dengan suatu bentuk informasi bahwa ASI Eksklusif merupakan upaya jangka panjang atau investasi supaya kedepan anak sehat dan tidak gampang kena penyakit," katanya.

Slamet mengungkapkan, perlu sebuah proses yang panjang untuk benar-benar bisa mengubah persepsi atau perilaku masyarakat. ASI Eksklusif, kata Slamet, tidak sekadar bahwa anak harus disusui hingga 6 bulan, tapi ada kaitannya dengan masalah kecerdasan dan stunting.

Ia mengatakan, mulai dari ibu hamil sampai dengan anak usia 2 tahun adalah masa kritis, yang apabila tidak diatasi, akan menyebabkan masalah tumbuh kembang anak seperti misalnya pendek, IQ rendah, pertumbuhan emosi dan hormon yang tidak bagus.

"Dengan berbagai alasan misalnya kosmetik, si ibu tidak mau menyusui karena takut bentuk payudara tidak indah. Padahal itu tidak benar. Faktor ini sifatnya personal dan terkait edukasi serta pendidikan," katanya.

Slamet menuturkan, ada komposisi dalam ASI yang disebut kolostrum, yang tidak ada pada susu formula dan tidak bisa dibuat oleh manusia. Kolostrum yang masuk kedalam tubuh bayi akan menjadi pondasi didalam tubuh, supaya pertahanan tubuh bagus dan tidak gampang sakit.

"Ibu harus yakin bayi sampai usia 6 bulan hanya butuh ASI saja, sehingga tidak perlu tambahan makanan lain," katanya.

Promosi susu formula

Lebih lanjut, Slamet mengatakan, penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menerima dan atau mempromosikan susu formula atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif.

Selain itu, gencarnya iklan susu formula juga masih menjadi salah satu penghambat keberhasilan pemberian ASI Eksklusif. Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI Eksklusif secara optimal, tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan informasi dan edukasi kepada calon ibu sejak pemeriksaan kehamilan

"Pemberian informasi dan edukasi sudah dilakukan melalui dinas kesehatan propinsi dan pada organisasi profesi seperti POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia), IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia)," terangnya.

Menurut Slamet, kegiatan promosi susu formula kini sudah merasuk keseluruh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, bidan praktek swasta dan rumah sakit. Bahkan, tak jarang pula melibatkan tenaga kesehatan.

Untuk mengatasi hal tersebut, dalam waktu dekat Kemenkes akan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang ASI Eksklusif. Dalam Permenkes tersebut ada 4 hal yang akan diatur salah satunya adalah pengaturan tentang larangan iklan susu formula.

"Permenkesnya masih kita susun dan tahun ini diharapkan akan selesai," tutupnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com