Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/08/2012, 07:35 WIB

Gejala serupa

Seperti yang digambarkan dalam buku Hot Zone (1996) karya Richard Preston, para korban virus marburg mulai menderita sakit kepala pada hari ketujuh setelah terpapar, demam tinggi, perdarahan hebat, kemudian berakhir dengan shock dan kematian. Virus ini ganas sekali ketika menyerang organ tubuh, usus, jaringan ikat, dan kulit.

Gejala serupa terjadi pada korban virus ebola, yang sekerabat dengan virus marburg dari famili Filoviridae. Berasal dari kata filum—dalam bahasa Latin berarti benang—di bawah mikroskop virus ini memang mirip untaian benang. Maka, Peter Piot (kini mantan Direktur Eksekutif Badan PBB untuk Masalah AIDS/UNAIDS) sebagai salah satu penemu ebola seperti melihat ”????” di mikroskopnya saat mengidentifikasi virus itu.

Dinamai seperti nama sungai kecil di Kongo—tempat asal virus ditemukan—ebola terus merebak di kawasan Afrika Tengah dari 1976 sampai sekarang. Pada wabah terakhir di Uganda saat ini, 16 orang meninggal dan 18 lainnya masih diisolasi.

Ebola sempat dideteksi di pusat karantina di Virginia, Pennsylvania, dan Texas (AS) tahun 1989-1990. Ditularkan oleh monyet- monyet yang didatangkan dari Filipina, empat petugas kandang yang terinfeksi akhirnya selamat. Mereka beruntung karena hanya terkena subtipe ebola-Reston yang paling tidak ganas pada manusia. Subtipe lainnya, seperti ebola-Zaire, ebola-Sudan, ebola-Pantai Gading, dan ebola-Bundibugyo, menyebabkan begitu banyak kematian.

Virus menular lewat kontak langsung dengan cairan tubuh, seperti darah, muntahan, air seni, dan tinja penderita. Karena itu, penularan banyak terjadi pada petugas kesehatan, keluarga, ataupun pelayat.

Kalau konferensi AIDS yang baru berakhir di Washington bertebar harapan karena AIDS mulai bisa dikalahkan, penanganan ebola masih perlu jalan panjang. Ramalan Rene Dubos sekali lagi menjadi kenyataan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com