Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/08/2012, 07:35 WIB

OLEH : AGNES ARISTIARINI

Any attempt to shape the world and modify human personality in order to create a self-chosen pattern of life involves many unknown consequences. Human destiny is bound to remain a gamble because at some unpredictable time and in some unforeseeable manner nature will strike back.

(Setiap upaya mengubah dunia melibatkan banyak konsekuensi. Nasib manusia menjadi taruhannya karena ada banyak faktor yang tak terduga. Alam akan menyerang balik dengan cara yang tidak pernah bisa diramalkan.)

”Mirage of Health”, Rene Dubos, 1959

Jauh sebelum penyakit-penyakit infeksi baru merebak, mikrobiolog kelahiran Perancis, Rene Dubos, ternyata sudah meramalkannya. Dalam Mirage of Health, ia menulis bahwa bebas total dari perjuangan melawan penyakit tidak akan pernah terjadi karena itu tidak sejalan dengan berlangsungnya proses kehidupan.

”Semua kemajuan sains dan teknologi tidak akan membebaskan manusia. Dengan proses adaptasi yang sangat dinamik, setiap organisme akan bertahan dalam lingkungan yang terus berubah,” katanya.

Virus bermunculan

Tahun 1976, sepuluh tahun setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan program eradikasi cacar, dunia sedang penuh harapan akan segera terbebas dari cacar. Terima kasih kepada Edward Jenner yang menemukan teknik vaksinasi sehingga penyakit yang sudah dikenal di Mesir lebih dari 3.000 tahun lalu itu dan mengancam 60 persen populasi dunia bisa dikalahkan.

Namun, euforia itu pupus dengan datangnya kabar wabah baru dari Afrika. Ketika WHO mengumumkan dunia bebas cacar tahun 1980, dunia ternyata berganti dibayang- bayangi HIV/AIDS dan ebola, juga dengan tingkat kefatalan yang amat tinggi.

Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 1976, demam berdarah ebola telah menewaskan penduduk di Yambuku di Zaire, sekarang Republik Demokratik Kongo. Menurut Centers for Disease Control (CDC) yang bermarkas di Atlanta, Amerika Serikat, dari 318 kasus yang tercatat 280 korban meninggal. Dengan tingkat kematian rata-rata 90 persen, ebola memang menjadi momok yang menakutkan.

Adapun korban AIDS pertama yang resmi tercatat adalah Margrethe P Rask, dokter bedah asal Denmark yang pernah bertugas di Zaire. Ia meninggal di sebuah rumah sakit di Kopenhagen, 12 Desember 1977, tiga setengah tahun sebelum AIDS diidentifikasi di CDC, Juni 1981.

Serangan balik

Alam mungkin sedang menyerang balik. Menurut Laurie Garrett dalam bukunya, The Coming Plague (1994), selama 50 tahun terakhir ditemukan puluhan virus penyakit infeksi baru. Selain kemajuan virologi, kemunculan virus-virus baru banyak dipicu oleh kerusakan ekosistem akibat pembabatan hutan, pertanian dan peternakan monokul- tur, kepadatan penduduk, serta mobilitas manusia yang luar biasa akibat kemajuan transportasi.

Habitat di pedalaman yang tak tersentuh kini menjadi obyek wisata baru. Maka, seseorang bisa saja terjangkit virus yang mematikan, naik pesawat jet pulang, dan ketika sampai di rumahnya di benua lain baru gejala dan penyakitnya muncul. Pesawat itu, juga kargo yang diangkut, bisa membawa serangga yang mengandung organisme mematikan ke ekosistem baru.

Pada kasus marburg, misalnya, meski asal virusnya dari Afrika, tetapi mendapat nama Jerman karena merebak di suatu kota tua di Jerman bagian tengah. Virus ini mewabah pada 1967 di pabrik Behring Works yang memproduksi vaksin dengan menggunakan sel-sel ginjal dari monyet hijau afrika.

Monyet-monyet yang didatangkan secara teratur dari Uganda tampaknya ada yang terinfeksi sehingga menulari lainnya. Virus ganas marburg itu membuat monyet yang terkena luluh lantak dan kehabisan darah. Virus itu kemudian berpindah ke spesies lain dan tiba-tiba muncul di antara petugas kandang dan penduduk kota.

Gejala serupa

Seperti yang digambarkan dalam buku Hot Zone (1996) karya Richard Preston, para korban virus marburg mulai menderita sakit kepala pada hari ketujuh setelah terpapar, demam tinggi, perdarahan hebat, kemudian berakhir dengan shock dan kematian. Virus ini ganas sekali ketika menyerang organ tubuh, usus, jaringan ikat, dan kulit.

Gejala serupa terjadi pada korban virus ebola, yang sekerabat dengan virus marburg dari famili Filoviridae. Berasal dari kata filum—dalam bahasa Latin berarti benang—di bawah mikroskop virus ini memang mirip untaian benang. Maka, Peter Piot (kini mantan Direktur Eksekutif Badan PBB untuk Masalah AIDS/UNAIDS) sebagai salah satu penemu ebola seperti melihat ”????” di mikroskopnya saat mengidentifikasi virus itu.

Dinamai seperti nama sungai kecil di Kongo—tempat asal virus ditemukan—ebola terus merebak di kawasan Afrika Tengah dari 1976 sampai sekarang. Pada wabah terakhir di Uganda saat ini, 16 orang meninggal dan 18 lainnya masih diisolasi.

Ebola sempat dideteksi di pusat karantina di Virginia, Pennsylvania, dan Texas (AS) tahun 1989-1990. Ditularkan oleh monyet- monyet yang didatangkan dari Filipina, empat petugas kandang yang terinfeksi akhirnya selamat. Mereka beruntung karena hanya terkena subtipe ebola-Reston yang paling tidak ganas pada manusia. Subtipe lainnya, seperti ebola-Zaire, ebola-Sudan, ebola-Pantai Gading, dan ebola-Bundibugyo, menyebabkan begitu banyak kematian.

Virus menular lewat kontak langsung dengan cairan tubuh, seperti darah, muntahan, air seni, dan tinja penderita. Karena itu, penularan banyak terjadi pada petugas kesehatan, keluarga, ataupun pelayat.

Kalau konferensi AIDS yang baru berakhir di Washington bertebar harapan karena AIDS mulai bisa dikalahkan, penanganan ebola masih perlu jalan panjang. Ramalan Rene Dubos sekali lagi menjadi kenyataan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com