Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kami Ingin Bersepeda Tanpa Henti

Kompas.com - 20/09/2012, 01:47 WIB

Pensiun dari pekerjaan boleh, tetapi pensiun dari bersepeda no way. Begitulah semboyan para pesepeda yang sudah memasuki usia lanjut. Sampai umur berapa pun mereka bertekad akan terus menggenjot pedal hingga ajal menjemput.

Pak Daeng, salah satu peserta Jelajah Sepeda Bali-Komodo, mengayuh pedal sepedanya dengan pelan, tetapi teratur seirama dengan para penggowes lain. Perjalanan sejauh 75 kilometer, dari Senggigi ke Lembar, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (19/9), seolah menjadi makanannya sehari-hari. Lancar tanpa halangan berarti.

Umur Daeng sudah 62 tahun. Namun, soal gowes-menggowes ia tetap jagonya. Di usia yang sudah senja itu, ia mampu melalap habis berbagai tantangan bersepeda dari jalur panjang, menanjak, hingga turunan. Jika di Kompas Bali Bike yang digelar 14-16 September lalu pesepeda babak belur menyelesaikan jalur tanjakan, lelaki yang tinggal di Jakarta ini dengan santai mengayuh melewati jalur itu tanpa didorong atau turun dari sepeda. Sesekali ia tersenyum dan melambaikan tangan kepada peserta lain yang dilewatinya.

”Orang mengira tenaga saya kuat. Bisa naik tanjakan tanpa mendorong sepeda. Padahal, saya cuma bermain teknik,” ujarnya lagi.

Daeng memang mantan atlet sepeda. Dengan pengalaman dan pengetahuannya, ia dengan gampang mengakali jalur berat, seperti tanjakan lebih dari 30 derajat. Ia memainkan gigi depan dengan gigi belakang. Saat menanjak, ia memasang gigi depan sepedanya ke angka kecil. Gigi belakang disetel besar. Tenaga yang dikeluarkan untuk mengayuh pun menjadi lebih sedikit dan tanjakan menjadi lebih ringan dilalui. Jadilah ia sebagai penggowes lanjut usia, tetapi bertenaga muda.

Soal capek, Daeng justru menjadi tabibnya. Di dalam tim, Daeng yang mempunyai nama asli Abdul Syayadi juga terkenal suka memijit teman seperjalanannya yang pegal. Jika dihitung, jumlah pasiennya selama mengikuti Kompas Bali Bike dan Jelajah Sepeda Bali-Komodo sudah 20 orang. Rata-rata mereka adalah anak muda.

Sering sakit

Semangat tinggi juga ditunjukkan Lilik Subagyo, pensiunan PT Telkom. Umurnya menginjak 57 tahun dan sudah sering kali mencari kacamatanya yang ternyata masih tertempel di dahi. Soal gowes, Lilik tak pernah lupa, apalagi ketinggalan sepeda.

Lilik setiap pagi bersepeda sejauh hampir 50 kilometer. Jalur jauh seperti Bandung-Surabaya sejauh 757 kilometer juga pernah ia jalani. Tur ke sejumlah kota, seperti Bandung sampai Jombang, Jawa Timur, atau Malang hingga Blitar dan Pamekasan ke Surabaya pun ia sikat habis. Kalau tak bersepeda, badan Lilik justru pegal-pegal.

Sebelum rajin menggowes, ia mengaku sering sakit-sakitan. ”Sakit pegal, meriang, asam urat kumat, pokoknya gampang sakit,” ujarnya. Namun, setelah rajin menggowes, badannya justru lebih fit. Penyakit asam uratnya jarang kumat. Ia pun kecanduan bersepeda.

Sepeda juga menjadi identitas bagi Djoko Edi Santoso (57). Wiraswasta asal Jakarta ini memiliki nama populer Djoko Merlin karena ke mana-mana membawa sepeda merek Merlin. ”Jika ada sepeda Merlin, berarti ada Djoko. Begitu cara teman- teman mengetahui keberadaan saya,” katanya.

Seperti halnya penggowes lanjut usia lainnya, ia juga tetap rajin bersepeda dan ikut tur. Kebanggaan dan kebahagiaan terbesarnya adalah bisa mengajak orang lain yang belum bersepeda menjadi penggemar sepeda.

Soal gowes-menggowes, Djoko mengakui tak selalu bisa sukses menaklukkan jalur. Ia juga tak malu-malu jika dibantu. Sering kali penggowes, terutama yang muda, suka gengsi jika didorong atau dievakuasi. ”Kadang saat ngobrol dengan teman, kami atur napas dulu. Jadi, tidak kelihatan ngos-ngosan. Ada pula yang pura-pura benerin rem atau berfoto. Padahal, sebenarnya hanya ingin ambil napas sejenak. Itu saking gengsinya, ha-ha...,” canda Djoko.

Bali-Komodo

Di Jelajah Sepeda Bali-Komodo yang berlangsung 18-24 September, para veteran ini bergabung dengan penggowes yang lebih muda. Jarak yang ditempuh mencapai 620 kilometer, menyeberangi lima pulau, dan melintasi padang savana. Jauhnya perjalanan, lamanya waktu berlayar, dan keringnya cuaca ternyata sama sekali tak melunturkan semangat mereka.

Sebagian dari mereka merupakan peserta Kompas Bali Bike. Meski interval kedua acara itu hanya sehari, mereka tetap nekat bergabung dan bersemangat ingin segera menggowes lagi. Bagi mereka, perjalanan jelajah sepeda dari Bali menuju Pulau Komodo adalah perjalanan yang menantang, menyentuh hati, dan memberi arti.

Daeng akan mengenang perjalanan ke Pulau Komodo sebagai petualangan yang melekat di hati karena mungkin takkan terulang lagi. Di setiap momen, ia selalu menyempatkan diri mengambil foto diri, foto teman, bahkan foto warga di kampung yang dilaluinya.

Sejak perjalanan awal, Lilik juga mengaku sudah mendapatkan sesuatu yang berharga, yakni pertemanan. ”Saat sampai di sini saya tidak kenal siapa-siapa. Namun, kini saya bisa akrab dengan siapa saja, bisa janji gowes ke mana-mana, bahkan menjalin relasi. Tidak sekadar sehat di badan,” katanya.

Kedekatan pesepeda dengan masyarakat dan budayanya pun kian kuat. Ikut menjadi tim jelajah sepeda, Djoko bisa melihat masih banyak daerah yang terbelakang. Saat bersepeda ke Malingping, Banten, misalnya, ia mengaku melihat listrik di kawasan itu baru masuk tahun 1990. Seolah daerah itu baru saja menikmati kemerdekaan ketika tiang listrik dipancangkan. Di Jelajah Sepeda Bali-Komodo, ia juga melihat bagaimana pembangunan tak merata. Semakin ke timur, infrastruktur dan sumber daya manusia semakin tertinggal.

Dari bersepeda, mereka tak hanya mendapatkan kesenangan dan kesehatan, tetapi juga bisa melihat sisi lain Indonesia. Bahkan, mungkin membangun peradaban baru. (NIT/SEM/JAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com