Suku Anak Dalam di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, mulai terbiasa dengan teknologi. Televisi, telepon seluler, atau komputer jinjing bukan lagi barang aneh bagi masyarakat di belantara rimba ini. Bahkan sejumlah remaja rimba kini aktif berjejaring sosial melalui internet.
Hanya saja, di tengah hutan yang belum terakses listrik umum, pemanfaatan teknologi tak semudah yang kita bayangkan. Pengendum, remaja rimba di wilayah Makekal, misalnya, sudah dua tahun terakhir memiliki telepon seluler dan laptop (telepon jinjing) untuk menunjang aktivitasnya sebagai relawan sekolah rimba.
Namun, setiap kali pulang ke dalam hutan, laptop lebih sering menganggur. Biaya mengisi ulang baterai laptop dan HP di rimba sangat mahal. Dia harus menyalakan genset yang membutuhkan sekitar 5 liter minyak tanah agar bisa mengalirkan listrik untuk satu malam. Artinya, dia membutuhkan hampir
Dalam kelompok tempat Pengendum tinggal, genset hanya dihidupkan satu kali dalam sepekan karena keterbatasan ekonomi masyarakat. Kesempatan itulah yang digunakan seluruh warga untuk menonton televisi, menerangi rumah, sekaligus mengisi ulang baterai telepon seluler.
Atau, mereka bisa menumpang listrik di rumah penduduk desa terdekat, dengan berjalan kaki paling cepat 3 jam lamanya. Pilihan ini merepotkan, tetapi sebagian orang rimba masih melakukannya hingga kini.
Jangkauan listrik umum di Indonesia baru mencapai 73 persen. Diperkirakan, masih 16,8 juta rumah belum teraliri listrik, sebagian besar berlokasi di pedesaan dan sekitar hutan.
Keterbatasan pemerintah sulit menjangkau listrik 100 persen bagi setiap rumah tangga. Padahal, masyarakat masih sangat bergantung pada layanan tersebut dan cenderung menunggu pemerintah mengadakan program listrik masuk desa.
Berbeda halnya dengan negara maju seperti Jerman.
Sejumlah kelompok peneliti dan usaha di Berlin mencermati peluang bisnis tenaga listrik ramah lingkungan. Dua tahun lalu, mereka membentuk Solarkiosk GmbH dengan menawarkan konsep jasa isi ulang energi listrik di dalam sebuah kios. Wujudnya mirip seperti kios atau warung pada umumnya. Hanya saja, kios ini memberi layanan isi ulang listrik bagi publik yang wilayahnya belum terakses listrik umum. Dengan demikian, kios ini akan lebih banyak hidup di pedesaan dan pedalaman.
Setiap orang yang ingin mengisi ulang baterai perangkat elektronik seperti telepon seluler, radio, komputer jinjing, ataupun peralatan memasak, tidak perlu jauh menumpang ke desa terdekat karena setiap desa dimungkinkan adanya kios-kios sejenis.
Konsorsium ini menyebutnya Solarkiosk. Proyek pertama kios diluncurkan di Addis Abeba, Etiopia, Juli lalu. Kios berdiri di tepi Danau Langano, di tengah sebuah desa terpencil.
Di kios telah terpasang instalasi panel surya yang memasok listrik sesuai kebutuhan masyarakat. Semakin besar kios dan layanan yang diberikan, akan lebih banyak panel surya dibutuhkan.
Menurut Sasha Kolopic, salah seorang perintis Solarkiosk, memanfaatkan kios ini akan lebih menguntungkan masyarakat ketimbang mereka harus menggunakan genset atau diesel untuk penerangan dan listrik di malam hari.
Dia memperkirakan 40 persen dari seluruh pendapatan warga selama ini habis untuk biaya listrik pengganti. Minimal Rp 1,5 juta per tahun untuk pembelian lilin, parafin, minyak tanah, dan sejenisnya hanya demi memperoleh penerangan pada malam hari. Penggunaan nonlistrik ini sekitar Rp 30 triliun, lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan penerangan dari layanan listrik publik yang hanya sekitar Rp 20 triliun per tahun.
Dalam konsep kios listrik bertenaga surya, setiap rumah tangga berhemat Rp 100.000 per bulan. Satu kios dapat memasok kebutuhan listrik rata-rata bagi 200 hingga 5.000 rumah tangga.
Menurut Sasha, potensi pasar kios bertenaga surya sangat besar. Ada 1,5 miliar penduduk dunia belum teraliri listrik. Mereka memanfaatkan lilin, kayu, dan minyak tanah sebagai bahan bakar penerangan rumah. Di Afrika saja, jumlah penduduk yang belum terakses listrik sekitar 800 juta.
Pihaknya juga belum bisa menunjukkan satu kisah sukses usaha otonom ini karena satu-satunya kios yang telah berdiri, di Addis Abeba, baru beroperasi dalam 5 bulan terakhir.
Namun, sebagai peluang menciptakan akses listrik bagi masyarakat desa dan pedalaman yang tersebar sangat banyak di Nusantara, tentulah sangat menarik.