Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/10/2012, 15:50 WIB

Kompas.com - Skizofrenia merupakan salah satu penyakit jiwa terberat, sebanyak 10 persen dari penderita penyakit ini berakhir dengan bunuh diri. Meski begitu gangguan jiwa ini bisa dikendalikan dengan pengobatan yang tepat dengan peluang kesembuhan cukup besar.

Sayangnya sebagian besar penderita skizofrenia tidak berobat. Selain karena akses pengobatan gangguan jiwa yang belum merata, kuatnya stigma di masyarakat menyebabkan banyak orang malu atau takut mencari pengobatan sehingga penyakitnya bertambah parah.

Menurut dr.Tun Kurniasih Bastaman, Sp.KJ, di Indonesia stigma akan penyakit jiwa bukan hanya dialami pasien dan keluarganya tapi juga sampai ke dokter dan perawatnya. "Para dokter pun kalau akan merujuk pasiennya ke psikiater sampai minta maaf dulu ke pasien," katanya dalam acara temu media berkaitan dengan penghargaan Dr.Guislain kepada Bagus Utomo di Jakarta (23/10/12).

Penyakit jiwa juga masih dianggap sebagai gangguan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan spiritual, kurang imna, hingga guna-guna. "Karenanya banyak orang yang menderita penyakit jiwa perginya ke 'orang pintar' bukan ke dokter," imbuh dokter dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Skizofrenia, menurut Tun, disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari faktor genetik, cedera otak, trauma, tekanan sosial, stres, hingga penggunaan narkotika. Para pakar kesehatan jiwa sependapat bahwa gejala skizofrenia timbul karena gangguan proses transfer dan pengolahan informasi dalam otak sehingga komunikasi sel saraf dalam otak tidak bekerja semestinya.

Gejala skizofrenia sendiri bervariasi, mulai dari gangguan halusinasi, delusi, hilang semangat, apatis, kesepian, hingga keinginan bunuh diri.

Karena ketidaktahuan masyarakat, pasien skizofrenia biasanya dipasung karena sering mengamuk. Padahal seperti halnya penyakit lain, skizofrenia juga bisa dikendalikan dengan obat-obatan psikotik. "Sebaiknya pengobatan harus holistik, obat-obatan medis dengan terapi psikososial," katanya.

Herni Susanti, staf pengajar bidang keperawatan gangguan jiwa yang mengambil program studi doktoral di Universitas Manchester Inggris, mengungkapkan, di negara maju upaya untuk menekan stigma penyakit jiwa dilakukan dengan pemberdayaan baik kepada pasien atau keluarganya.

"Di pusat pendidikan seringkali pasien skizofrenia dihadirkan sebagai dosen tamu untuk menceritakan apa yang mereka alami saat halusinasi. Menjadikan pasien sebagai bagian dari tim peneliti bidang kesehatan jiwa juga sudah sering dilakukan sehingga pasien memiliki self-esteem tinggi," kata Herni dalam acara yang sama.

Pemberdayaan untuk keluarga juga tak jauh berbeda karena mereka kerap tidak mendapatkan informasi dengan jelas tentang bagaimana menghadapi keluarga yang menderita skizofrenia atau tentang aturan minum obat.

Pengalaman jatuh bangun yang dialami Bagus Utomo (39) dan keluarganya dalam menghadapi sang kakak yang menderita skizofrenia mendorongnya untuk membentuk komunitas peduli skizofrenia.

"Selama 10 tahun kami dan keluarga bingung mencari pengobatan untuk kakak. Selain pengobatan medis kami juga berobat ke orang pintar. Semua itu menghabiskan sumber daya dan energi kami sekeluarga namun penyakit kakak tidak juga sembuh," katanya.

Ia kemudian berinisiatif mencari informasi tentang penyakit kakaknya di internet dan menemukan kesamaan gejala dengan penyakit skizofrenia. Berbekal semangat untuk menyebarluaskan informasi tentang penyakit tersebut ia membuat website mengenai skizofrenia yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

"Website yang saya buat berasal dari dana pribadi sehingga sempat mati saat saya kehilangan pekerjaan. Kemudian saya membuat komunitas di Facebook," katanya.

Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) yang ia dirikan kemudian menjadi wadah untuk berbagi pengalaman bagi para pasien dan keluarganya. Saat ini KSPI memiliki 6400 anggota dari berbagai daerah dan aktif melakukan edukasi kepada masyarakat.

Berkat upayanya tersebut Bagus diganjar penghargaan pertama Dr.Guislain untuk Breaking the Chains of Stigma. Ia mendapatkan hadiah uang senilai 50.000 dollar yang harus digunakan untuk melanjutkan pekerjaan mengurangi stigma sosial tentang kesehatan jiwa.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com