Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/11/2012, 17:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan bahwa faktor pengetahuan dan perilaku masyarakat  berpengaruh terhadap kasus gizi kurang di masyarakat, kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
    
"Data lain menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan," kata Nafsiah saat memaparkan 'Arah Kebijakan Pembangunan Gizi di Indonesia' pada kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X/2012 di Jakarta, Selasa (20/11/2012).

Masalah gizi kurang diakui Menkes Nafsiah masih menjadi salah satu perhatian utama pemerintah, meski kasusnya terus mengalami penurunan dan diharapkan akan terus berkurang sesuai dengan target Pembangunan Millenium (MDGs).

"Bahwa masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada 2010 prevalensi anak stunting 35,6 persen, artinya 1 di antara tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31 persen (1989), menjadi 17,9 persen (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15,5 persen pada  2015 diperkirakan dapat dicapai," kata Menkes.

Ia menambahkan, disparitas masalah gizi kurang menurut provinsi masih sangat lebar. Beberapa provinsi mengalami kemajuan pesat dan prevalensinya sudah relatif rendah, tetapi beberapa provinsi lain prevalensi gizi kurang masih sangat tinggi.

Selain gizi kurang dan stunting,  tiga masalah gizi lainnya yaitu Kekurangan Vitamin A pada anak Balita, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan Anemia Gizi pada anak 2-5 tahun sudah dapat dikendalikan. Penanggulangan GAKI dilakukan sejak tahun 1994 dengan mewajibkan semua garam yang beredar harus mengandung iodium sekurangnya 30 ppm. Data status Iodium pada anak sekolah sebagai indikator gangguan akibat kurang Iodium selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang konsisten.

Median Ekskresi Iodium dalam Urin (EIU) dari tiga survei terakhir berkisar antara 200-230 µg/L, dan proporsi anak dengan EIU 100 µg/L di bawah 20 persen. "Secara nasional masalah gangguan akibat kekurangan Iodium tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat," kata dia.

Masalah gizi ketiga yang sudah bisa dikendalikan adalah anemia pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami penurunan, yakni 51,5 persen (1995) menjadi 25,0 persen (2006) dan 17,6 persen (2011).

Problem gizi yang mengancam kesehatan masyarakat saat ini, lanjut Nafsiah, adalah gizi lebih. Ini merupakan masalah baru karena dalam beberapa tahun terakhir kasusnya mengalami kenaikan. Prevalensi gizi lebih, baik pada kelompok anak-anak maupun dewasa meningkat hampir satu persen setiap tahun. Prevalensi gizi lebih pada anak-anak dan dewasa, masing-masing 14,4 persen (2007) dan 21,7 persen (2010).

"Pola makan pangan yang tidak seimbang merupakan merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif," kata Menkes.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com