Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/12/2012, 16:38 WIB

KOMPAS.com - Saya teringat di tahun 2005 ketika awal mulai berpraktik di sleep disorder clinic, ada seorang pasien yang amat khas menderita sleep apnea. Seorang bapak, sebut saja namanya Arman. Ia datang mengeluhkan rasa lelah dan mengantuk sepanjang hari. Ia juga menekankan bahwa ia bukan seorang pemalas. Bahkan ia seorang pekerja keras.

Hingga 10 tahun yang lalu, ia termasuk orang yang workaholic. Karenanya, ia dapat mencapai jabatan tinggi di usianya yang maih terbilang muda. Tetapi selama 10 tahun belakangan, perlahan ia mulai merasa lelah berkepanjangan. Semula, ia abaikan gangguan ini. Tetapi lama kelamaan kelihatannya semakin berat hingga mempengaruhi performa kerjanya.

Bertahun-tahun ia berkeliling "berbelanja" dokter. Berbagai spesialis ia kunjungi, hingga perlahan kesehatannya mulai memburuk. Tekanan darah meningkat, sakit kepala kerap mendera dan ia pun semakin sulit berkonsentrasi. Pada suatu ketika ia bahkan harus menanggung malu karena tertidur di tengah rapat penting.

Saat pertama bertemu, ia sudah sampai pada titik akan menyerah. Dengan jujur ia ceritakan bagaimana kehidupan perkawinannya meretak akibat sifatnya yang menurut istrinya tak punya motivasi dan tak bersemangat. Perusahaannya pun mulai meminggirkan jabatannya.

Dengan beberapa pertanyaan saja, sudah dapat dipastikan penyakit yang dideritanya. Tetapi dibutuhkan pemeriksaan di laboratorium tidur untuk tegakkan diagnosa. Ya, Arman mendengkur dalam tidur dan ia menderita sleep apnea.

Sekilas Sejarah

Sebenarnya gangguan tidur ini sudah ada sejak lama. Sedihnya, di era kedokteran molekuler ini, satu penyakit yang demikian luas diderita, dan demikian berbahayanya seolah luput dari pengamatan dokter.

Di tahun 1956, sekelompok ahli paru di Amerika meneliti tentang adanya pasien yang amat gemuk dan selalu mengantuk. Mereka menyebutnya dengan sebutan "Pickwickian Syndrome" mengambil tokoh Joe si anak gendut yang dituliskan oleh Charles Dickens yang terbit pada koran Pickwick. Joe digambarkan sebagai anak gendut, pemalas yang terus mengantuk, bahkan tertidur pada saat berdiri. Namun sayangnya, kelompok peneliti ini hanya memeriksa pada saat subyek terjaga. Mereka menghubungkan kantuk berlebihan dengan kadar karbondioksida darah yang tinggi. Andai mereka mengamati tidur para subyek, mereka akan melakukan penemuan luar biasa!

Baru di tahun 1965, ada dua kelompok peneliti Eropa yang menyatakan bahwa penderita Pickwickian Syndrome mengalami henti nafas secara periodik saat tidur. Sayang penelitian ini kurang mendapat perhatian, sebabnya sederhana, dunia kedokteran tak menganggap penting segala sesuatu yang berkaitan dengan tidur.

Tahun 1970, Prof. William Dement yang kini dikenal sebagai  Bapak Kedokteran Tidur, diminta untuk memeriksa pasien-pasien Pickwick. Penelitiannya mengkonfirmasi penelitian-penelitian sebelumnya tentang henti nafas saat tidur. Tapi istilah sleep apnea baru dikenalkan pada dunia setelah Christian Guilleminault bergabung dalam penelitian Dement di tahun 1972.

Jika sebelumnya Dement beranggapan bahwa ngorok dan sleep apnea disebabkan oleh obesitas, Guilleminault mengusulkan agar pemeriksaan tidur mulai memeriksa juga fungsi-fungsi pernafasan dan jantung pasien, dan merubah wajah kedokteran tidur secara drastis. Dahulu semua pasien dengan kantuk berlebihan dianggap sebagai narkolepsi. Tapi Dement dan Guillemanault menyadari bahwa mungkin juga banyak pasien yang semula dikira menderita narkolepsi ternyata menderita sleep apnea. Benar saja, pemeriksaan tidur pada pasien-pasien berikutnya ternyata menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka menderita sleep apnea.

Hingga saat ini, rumusan pemeriksaan di laboratorium tidur, masih mengikuti apa-apa yang diuraikan oleh Dement dan Guilleminault saat itu.

Sleep apnea

Henti nafas saat tidur dapat terjadi berulang kali dalam tidur. Saluran nafas yang sempit, pada saat tidur akan melemas dan kolaps. Akibatnya penderita seolah tercekik tak dapat bernafas. Dalam sesak, tubuh akan membangunkan otak sejenak agar penderita terbangun dan bernafas, lalu tidur dan mendengkur lagi.

Walau ia berulang kali bangun, tapi di pagi hari penderita sleep apnea sama sekali tak ingat. Ia hanya terbangun sejenak tanpa terjaga. Sementara kadar oksigen naik turun sepanjang malam. Setiap episode henti nafas bisa bervariasi, mulai dari 10 detik, 20 detik hingga satu menit lebih. Kadar oksigen pun turun dan naik sepanjang malam. Bayangkan juga kerja jantung yang memberat pada saat tidur. Ya, penderita sleep apnea bertaruh nyawa dalam tidurnya.

Perawatan

Tetapi perawatan penderita sleep apnea masih belum ada yang memuaskan. Saat itu, penderita sleep apnea hanya dirawat secara simptomatis. Mereka hanya diberikan obat-obatan untuk mengatasi kantuk. Henti nafas sendiri tetap terjadi, dan penyakit-penyakit lanjutan dari sleep apnea pun tak dapat dicegah.

Dalam buku yang ditulisnya, Dement menceritakan pengalamannya merawat penderita sleep apnea. Ia pernah menemui penderita sleep apnea berusia 13 tahun yang telah mendengkur bertahun-tahun. Saat dirujuk, anak tersebut dalam kondisi menderita tekanan darah tinggi yang parah dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan. Setelah menjalani pemeriksaan, Dement menyarankan agar dilakukan tracheostomy, sebuah tindakan untuk membuat saluran nafas baru dengan membuat lubang di leher. Tindakan yang amat berani. Namun setelah nafas si anak berjalan lancar selama tidur, hipertensi yang dideritanya hilang begitu saja. Tetapi sayang, kondisi kurang oksigen selama tidur yang dialaminya bertahun-tahun telah menyebabkan kerusakan otak. Pemeriksaan kecerdasan dan kemampuan kognitif menunjukkan hasil yang buruk.

Sebagai alternatif tracheostomy, seorang dokter ahli paru Australia, Colin Sullivan di tahun 1981 memperkenalkan sebuah mesin bernama CPAP (continuous positive airway pressure). Dengan cerdas, ia memodifikasi alat penyedot debu agar meniupkan tekanan. Lewat masker yang hanya menutupi hidung, udara bertekanan ditiupkan untuk mengganjal saluran nafas atas agar tak menutup.

Perawatan dengan CPAP dinilai yang paling efektif dan non infasif saat ini hingga dianggap sebagai baku emas perawatan. Sementara bentuk-bentuk perawatan lain juga diperkenalkan seperti beberapa tindakan bedah atau penggunaan dental appliances.

Penderita Sleep Apnea

Kembali pada Arman, iIa pun menjalani pemeriksaan tidur di laboratorium tidur. Alat yang digunakan bernama polisomnografi yang berasal dari bahasa Yunani poli (polus) berarti beberapa atau banyak, bahasa Latin somnus yang artinya tidur dan grafi dari grafein, bahasa Yunani untuk tulisan atau rekaman. Polisomnografi (PSG) berarti perekaman beberapa/banyak fungsi tubuh saat tidur.

Jangan bayangkan laboratorium tidur sebagai tempat yang menyeramkan. Syarat utama pemeriksaan tidur adalah kenyamanan.

Pemeriksaan tidur Arman, terdapat episode-episode menegangkan. Dalam tidur nafasnya terhenti-henti. Sekali waktu ada henti nafas yang mencapai seratusan detik. Kadar oksigen dalam darahnya pun menurun hingga 60an persen. Padahal kadar oksigen kita saat terjaga adalah 98%-100%. Kerja jantung pun beberapa kali tampak berat. Suatu kali denyut nadinya melambat hingga 30an kali permenit.

Otaknya pun berulang kali terbangun akibat seringnya henti nafas. Istilah yang diperkenalkan oleh Dement dan Guilleminault untuk ukur derajat keparahan sleep apnea adalah AHI (apnea-hypopnea index) atau indeks henti nafas tidur. AHI  Arman adalah 74x/jam. Artinya, rata-rata ia mengalami henti nafas 74 kali setiap jamnya.

AHI 0-5x/jam adalah normal, 6-15x/jam ringan, 16-30x/jam sedang dan lebih dari 30x/jam sudah tergolong berat. Arman termasuk kategori berat dan membutuhkan perawatan cepat. Segera,  Arman dan keluarga menjalani program pemberian CPAP. Keluarga diminta untuk juga belajar memahami apa yang dialami Arman. Program pemberian CPAP termasuk didalamnya pengenalan masker, pengenalan alat dan pengukuran tekanan yang tepat.

Selang beberapa waktu, ia mengabarkan perkembangannya. Pagi hari setelah ia menggunakan CPAP untuk pertama kali, ia amat terkejut. Tak pernah ia bangun dengan rasa segar bugar seperti ini. Berangsur, daya ingat, konsentrasi dan kebugarannya kembali. Ia juga melaporkan kini ia dapat dengan cepat mengambil keputusan dengan tepat. Perlahan tekanan darahnya pun kembali terkontrol dengan baik. Dada yang semula terasa pegal dan sakit saat bangun tidur tak ada lagi. Frekuensi bangun untuk kencing yang sebelumnya 2-3x tiap malam juga hilang. Karir dan kehidupan rumah tangganya kembali bergairah. Dalam kata-katanya: "seperti terlahir kembali!"

Ketika saya tanyakan, bagaimana perasaannya setelah sekian lama menderita akhirnya bisa diatasi dengan mudah, Arman menjawab: "Terus terang saya marah dengan minimnya informasi tentang sleep apnea di Indonesia. Andai saya tahu lebih awal, tak perlu menderita begini." Lalu dia terdiam, "Tetapi kini setelah merasakan sendiri manfaatnya saya tak marah lagi. Yang penting sudah sembuh...Tapi ya itu...ngorok aja kok repot!" Dan kami pun tertawa.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com