Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/12/2012, 17:58 WIB

KOMPAS.com - Beberapa hari lalu, seorang pasien saya, salah satu kakinya harus diamputasi. Pasien, sebut saja Tuan A, relatif masih muda, sekitar 45 tahun, diketahui menderita diabetes sejak lima tahun yang lalu. Pasien dirawat karena mengalami luka yang tidak sembuh-sembuh, luka akibat komplikasi diabetes yang tidak terkontrol dengan baik..... Kemudian,  "bagaimana reaksi pasien, keluarga pasien ketika saya beritahu, bahwa kakinya harus diamputasi, dipotong?" "Tolong dokter, jangan sampai begitu dokter, apapun, berapapun biaya yang harus dikeluarkan agar kaki suami saya dapat diselamatkan, kami sanggup dokter" kata istrinya dengan suara terisak. Sementara, air mata mulai mengalir dari ke dua pelupuk matanya..

Kasus seperti tentu saja bukan yang pertana kali saya lihat. Selama saya menjadi dokter mungkin tidak terhitung lagi. Ada yang kehilangan ke dua kakinya, tangannya, matanya, ginjalnya dan organ lainnya. Bermacam reaksi pasien, keluarga pasien menghadapi hal ini. Tapi, pada dasarnya mereka sangat keberatan, kecewa, sedih yang luar biasa. Andaikan mereka bisa menolak pasti akan ditolaknya. Seperti pada kasus di atas, kalau mereka mempunyai berbungkah emas, kalung, gelang, intan berlian, semua akan dilepaskannnya bila itu dapat menyelamatkan kaki mereka.

Lalu, itu baru sebuah kaki,  pada pasien ini, hanya sebagian kakinya, bungkahan emas, intan berlian tidak berharga lagi dibandingkan kaki tadi. Nah, "Bayangkan kalau itu  ke dua kakinya, tangannya, berapa nilainya?"

Memang,  kaki, tangan, mata, lidah, telinga, hidung, dan lain-lain  itu tidak dapat dihargai dengan materi, tidak bisa dinilai dengan uang. Coba saja misalnya, bila seseorang menginginkan sebuah kaki Anda, "apakah Anda bersedia memberikannya, walaupun untuk itu orang tersebut akan menggantinya dengan sebuah mobil mewah, rumah besar yang menjadi impian Anda selama ini?"

Ada suatu cerita yang pernah saya baca dari sebuah buku yang menggambarkan tidak terhingga nilainya sebuah kaki. Ceritanya kira-kira begini: di suatu kota di negeri entah berantah, seorang pemuda petani yang sering berjalan di dekat sebuah taman istana yang indah dan luas, melihat seorang pemuda yang selalu bertelekan pada sebuah kursi malas yang mahal. Di sekitar pemuda itu, beberapa orang wanita cantik juga senantiasa mendampinginya. Dalam hati, pemuda petani bergumam, "bila  saya yang duduk di situ, alangkah senang dan bahagianya saya, hanya duduk-duduk di kursi malas, di lingkungan taman yang luas, dengan aneka warni-warni bunga yang mekar semerbak, dan  di dampingi wanita-wanita muda yang cantik".

Terbayang juga oleh pemuda petani ini, pondoknya yang sangat sederhana, jangankan taman yang luas seperti taman istana itu, pekarangan kecil yang ada di depannya hanya dipenuhi tanaman sayur-sayuran untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Kemudian,  suatu waktu, ketika pemuda petani ini lewat di depan taman istana itu dengan temannya............ "kamu lihat pemuda itu, yang setiap hari hanya duduk di sana, bersama wanita cantik seperti itu, alangkah beruntungya kalau saya yang di sana"  Ungkapnya tiba-tiba kepada temannya......... Oh ya," Anda mau duduk di sana, seperti pangeran itu?   Tanya temannya. "Tahukah kamu dengan  pangeran itu? " ...Ia adalah seorang yang lumpuh, kalau pergi ke mana-mana harus diangkat oleh pembantunya, ke kamar mandi sekalipun, apa kamu menginginkan hal seperti itu, kamu bersedia  ke dua tungkai mu diganti dengan kursi malas dan wanita-wanita cantik begitu?" Mendengar itu, sang pemuda tanpa berpikir panjang, menjawab: "Oh, tidak, jelas saya tidak mau, biarlah saya begini saja".

Sayang, kebanyakan kita,  Anda, bahkan saya sendiri baru menyadari nilai, manfaat sebuah kaki misalnya, di saat kita sakit atau kehilangan. Saya juga pernah merasakan alangkah  nikmatnya, bermanfaatnya  sendi lutut yang sehat, ketika lutut saya sakit. Kisahnya begini, waktu itu hujan gerimis, pasien di tempat saya yang biasanya praktek sudah menunggu cukup lama. Dari rumah sakit, seperti biasa yang sudah saya lakukan dalam dua tahun terakhir, dengan menggowes sepeda agak lebih cepat, saya ingin buru-buru sampai di tempat praktek. Setelah tiba di depan halaman tempat praktek, saya berbelok agak tajam, karena licin akibat hujan, saya terjatuh. Waktu jatuh, saya berusaha menumpu pada telapak tangan kanan saya, tapi lutut kanan saya membentur aspal cukup keras. Terasa agak sakit terutama pada sendi lutut, tapi saya abaikan, saya tetap melangkah menuju ruang praktek di depan pasien-pasien saya yang sedang menunggu, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

Malam harinya waktu mau tidur, lutut saya agak bertambah sakit.  Pagi setelah bangun ketika saya harus ke belakang, saya menjerit kesakitan saat lutut itu mau ditekuk, sakitnya bukan main. Hampir selama tiga bulan saya merasakan kesakitan akibat lutut yang hanya memar waktu jatuh itu. Selama itu pula gerakan, aktivitas saya jadi terhambat.  Saya tidak bisa duduk bersimpuh waktu shalat, tidak dapat bersila waktu duduk, mendayung sepeda dengan sempurna, bahkan bila salah menggeser kaki saja, akan timbul rasa nyeri yang kuat.

Nah, seperti telah saya singgung sebelumnya, kita baru menyadari nilai sesuatu setelah kehilangannya, termasuk sebuah kaki. Pada saat kaki itu sakit, pada saat kaki harus diamputasi, baru kita sadar tingginya nilai, harga sebuah kaki. Namun, waktu sehat, jangankan untuk memperhatikan, memeliharanya, kadang-kadang kita lupa bahwa kita sebenarnya mempunyai kaki. Kita lupa bahwa kaki ini sebenarnya sangat bernilai dan tidak dapat dihargai seberapapun.

Di samping itu, sebuah kaki, tungkai tidak hanya sekedar agar Anda dapat bergerak ke sana ke mari, tidak hanya untuk berlari ketika Anda dikejar anjing, Anda buru-buru ke belakang ketika perut Anda mules, atau berdiri tegak di atas podium saat Anda berpidato. Tapi, kaki juga mempunyai makna surgawi, rohani. Karena kakilah  yang akan menapak, membawa anda ke tempat Ibadah, Masjid, berziarah, panti sosial, atau anda harus berlari, berenang  menyelamatkan seorang anak yang mau tenggelam, membimbing  orang tua yang akan menyeberang.

Namun, kaki, ke dua tungkai Anda  jugalah yang akan ikut membawa Anda ke Neraka, kalau Anda tidak menggunakannya sesuai rencana Allah, Anda rajin melangkah ke tempat maksiat, Anda berdiri di depan orang banyak hanya untuk sekedar menipu, membodohi orang lain. Oleh karena itu, perhatikanlah kaki Anda, ke mana dia mau melangkah, dan sesuai anjuran Nabi, "basuhlah waktu mau tidur".  Basuh tidak hanya sekedar pengertian fisik,  membersihkan kotoran, tetapi menumbuhkan kesadaran, "ke mana saja kaki ini sudah melangkah hari ini?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com