Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/12/2012, 09:02 WIB

KOMPAS.com - Proses tidur manusia masa kini terus saja berubah, baik durasi maupun polanya. Kehidupan modern terus mendesak manusia untuk mengurangi tidur. Kita lihat penelitian di tahun 1960-an menunjukkan rata-rata warga AS tidur 8 jam sehari. Sementara di tahun 2005 dilaporkan telah turun hingga kurang dari 7 jam seharinya.

Sebuah survei di tahun 2006 bahkan menyatakan bahwa 21 persen warga AS tidur kurang dari 6 jam per hari. Bagaimana dengan Indonesia? Meski tak ada data resmi, berdasarkan pengamatan pribadi sepertinya kurang lebih sama, terutama yang hidup di perkotaan.

Berkurangnya durasi tidur disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari tanggung jawab pekerjaan, denyut kehidupan yang memang serba cepat, serta hiburan elektronik yang tersedia selama 24 jam. Belum lagi paparan cahaya terang terus menerus yang disadari atau tidak telah mengganggu jam biologis kita. Jam biologis manusia menentukan waktu biologis tubuh seperti lapar, buang air, kantuk dan juga segar bugar.

Sepertinya, saat ini kita ada di masa peralihan evolusi manusia, dimana jam biologis kita perlahan bergeser menyesuaikan dengan aktivitas sosial. Secara sengaja, atas nama produktivitas, kita membatasi waktu tidur kita. Pengurangan waktu tidur ini bukannya tanpa konsekuensi. Penurunan kemampuan kognitf dan stabilitas emosi menjadi akibat utama yang bisa kita rasakan. Banyak kita lihat di sekeliling, pribadi-pribadi yang berjalan dengan tatapan kosong dan lelah seolah zombie. Kantuk sepanjang hari menekan produktivitas manusia. Pada kesehatan, aktivasi sistem simpatis dan resistensi insulin akibat pembatasan tidur juga turut berperan dalam berkembangnya epidemi obesitas. Belum lagi risiko menderita penyakit jantung-pembuluh darah yang meningkat hingga dua kali lipat akibat durasi tidur yang terbatas.

Kini hiperalgesia, sebuah kondisi dimana seseorang terlalu sensitif terhadap rasa sakit, juga didapati disebabkan oleh kondisi kurang tidur. Contohnya mudah saja, rasa pegal, ngilu atau sakit pada tubuh sering kita rasakan saat kurang tidur. Dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan istilah masuk angin.

Penelitian

Sekelompok peneliti dari Henry Ford Hospital mencoba melihat hubungan antara tidur dan rasa sakit. Mereka mengamati beberapa orang yang terbiasa dengan durasi tidur yang pendek dan dilihat sensitivitasnya terhadap rasa sakit. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal SLEEP edisi Desember 2012 ini lalu juga membandingkan pengurangan rasa sakit tersebut setelah tidur cukup, dengan setelah minum obat penghilang rasa sakit.

Para peneliti merekrut 18 orang muda yang mengantuk. Walau mereka mengaku bangun segar dan tidak mengantuk, namun pemeriksaan multiple sleep latency test (MSLT) menunjukkan secara obyektif seberapa mengantuknya mereka. MSLT dilakukan di laboratorium tidur di siang hari untuk melihat seberapa cepat seseorang tertidur atau mula tidur (sleep onset). Mula tidur normal adalah 10-20 menit sejak berbaring. Para peserta penelitian memiliki mula tidur <8 menit.

Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama diminta menambah jam tidur selama 4 hari, sementara kelompok kedua tetap mempertahankan pola tidurnya selama 4 hari. Kelompok pertama rata-rata tidur 1,8 jam lebih lama dibanding durasi tidur biasanya. Kelompok pertama tentu jadi lebih segar, ini dilihat dari mula tidur yang jadi lebih lama 2,5 menit dibanding sebelumnya. Sementara kelompok kedua, pemeriksaan MSLT menunjukkan waktu mula tidur yang tetap sama.

Di hari ke empat, sensitivitas terhadap rasa sakit diukur lewat waktu yang diperlukan hingga seseorang menarik tangannya dari sumber panas (finger withdrawl latency). Hasilnya kelompok yang tidur lebih lama dapat menahan sakit lebih lama 25% dibanding kelompok yang kurang tidur. Artinya orang yang mengantuk kurang dapat menahan sakit dibanding orang yang tidak mengantuk.

Kelompok peneliti yang sama, sebelumnya pernah membandingkan efek rasa sakit setelah minum obat penghilang rasa sakit kodein 60 mg dua kali sehari. Kelompok yang cukup tidur (tidak mengantuk) dapat menahan sakit lebih lama 14% dibanding kelompok yang kurang tidur (mengantuk). Seolah kodein jadi tak bermakna jika diberikan pada orang yang mengantuk.

Mendengkur dan rasa sakit

Tim peneliti berkesimpulan bahwa toleransi terhadap rasa sakit dapat diperbaiki dengan mengurangi kantuk. Dalam konteks ini adalah dengan menambah jam tidur. Namun melihat data penderita sleep apnea, ternyata menunjukkan hasil yang sama juga.

Orang yang mendengkur dengan henti nafas (sleep apnea), mempunyai kualitas tidur yang buruk. Akibatnya walau durasi tidur cukup, mereka tetap mengantuk. Kondisi ini disebut sebagai hipersomnia atau kantuk yang berlebihan. Menambah jam tidur pada orang yang ngorok tidak akan mengurangi kantuknya. Penelitian di tahun 2011, tunjukkan bahwa mengatasi mendengkur dapat meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit.

Atasi dengkur dengan CPAP akan mengurangi henti nafas penderita dari 50 kali perjam menjadi 2 kali perjamnya. Setelah satu malam gunakan CPAP, penderita sleep apnea merasa segar di saat bangun dan dapat menahan rasa sakit 28 persen lebih lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com