Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/02/2013, 10:51 WIB

Jakarta, Kompas - Indonesia termasuk negara berpenduduk muda dengan umur rata-rata penduduknya 28 tahun. Setelah jendela peluang tahun 2030-2040 terlewati, jumlah penduduk lanjut usia akan melonjak. Berbagai penyakit degeneratif pun mengancam, termasuk kanker.

”Kondisi masyarakat Indonesia secara berangsur-angsur akan seperti Jepang saat ini, yaitu penduduknya menua,” kata Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yoshinori Katori dalam Medical Excellence Japan Seminar: Indonesia-Japan Medical Collaboration di Jakarta, Sabtu (23/2). Umur rata-rata penduduk Jepang sekarang 45 tahun.

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Abdul Muthalib mengatakan, kanker menjadi salah satu penyakit degeneratif yang akan banyak muncul pada lansia. Kini, kanker penyebab kematian terbesar kedua di dunia setelah jantung dan stroke.

Mengutip data FKUI, jumlah pasien kanker baru di Indonesia sebelum 2010 hanya 1 orang per 1.000 penduduk. Setelah 2010, jumlahnya melonjak 4,3 orang per 1.000 penduduk. Pertambahan itu juga seiring makin tingginya angka harapan hidup penduduk.

Meski demikian, perhatian pemerintah untuk kanker masih kurang dibandingkan dengan penyakit lain. Kanker masih dianggap urusan kesehatan, padahal dampaknya sangat memengaruhi ekonomi dan kondisi sosial bangsa.

Sistem layanan kanker pun belum tertata. Meski sejumlah teknologi modern pendeteksi dan terapi kanker sudah ada, jumlahnya terbatas dan terkonsentrasi di Jakarta. Ini membuat antrean penggunaan alat sangat tinggi, seperti antrean radioterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang bisa mencapai empat minggu.

Kesiapan penanganan

Ahli kanker Indonesia juga sangat kurang. Pendidikan ahli kanker sangat lama karena ada pada jenjang pendidikan subspesialis. Pusat pendidikannya pun terbatas.

Terapi kanker juga masih tumpang tindih. ”Operasi harusnya dilakukan ahli bedah onkologi, radiasi oleh ahli radioterapi, dan obat diberikan ahli onkologi medik. Di Indonesia, masih campur aduk,” katanya.

Menurut Muthalib, kanker bukan nasib, melainkan penyakit terkait gaya hidup yang bisa diobati dan dicegah. Namun, upaya mengedukasi masyarakat soal kanker kurang.

Pengobatan kanker terkenal mahal hingga kanker dianggap penyakit orang kaya. Padahal, penyakit ini bisa menyerang siapa saja.

Biaya yang mahal juga membuat banyak penderita kanker memilih pengobatan alternatif yang tidak punya bukti medik. ”Soal mahalnya biaya bisa diatasi, tapi transfer teknologi butuh waktu,” katanya.

Katori menilai, sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang mulai dilaksanakan 2014 merupakan langkah baik mengantisipasi meningkatnya persoalan kesehatan masyarakat yang makin menua. Namun, pengembangan teknologi medis juga diperlukan.

”Kerja sama kedokteran dan teknologi medik Indonesia-Jepang perlu ditingkatkan,” katanya. (MZW)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com