Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awas Bujukan di Media Sosial

Kompas.com - 15/04/2013, 09:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerkosaan dengan tipu daya terhadap remaja putri oleh kenalannya di media sosial yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya kian mengkhawatirkan. Kejahatan yang terindikasi muncul pada 2010 ini jumlahnya bertambah setiap tahun. Belakangan, kejahatan itu dilakukan oleh geng.

Kualitasnya pun meningkat, dari biasanya dilakukan satu pelaku, menjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh geng remaja. Kasus pemerkosaan yang dilakukan kelompok atau geng ini terjadi pada bulan Maret di wilayah Jakarta Timur, sebanyak dua kasus. Satu kasus menimpa siswi SMP berinisial ES (13) dan kasus lainnya menimpa siswi SMK berinisial NR (15). Keduanya diperkosa lantaran bertemu teman laki-laki yang dikenalnya melalui media sosial Facebook.

Dalam catatan kejahatan di Jakarta, menurut kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, baru kali ini muncul pemerkosaan dilakukan oleh geng remaja. Kejahatan geng remaja ataupun pemuda selama ini sebatas terjadi pada kasus narkoba dan tawuran.

”Ini baru, minimal baru kali ini saya dengar ada pemerkosaan oleh geng di Jakarta,” katanya.

Apabila diukur dari lampu sinyal bahaya, ujar Adrianus, sudah lampu kuning kasus ini. Jangan sampai kondisinya berubah menjadi lampu merah, karena itu bisa menimbulkan ketakutan baru di masyarakat.

Data penanganan kasus di Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, pemerkosaan pada remaja putri oleh kenalannya di media sosial mulai muncul tahun 2011 sebanyak 36 kasus. Tahun 2012, sebanyak 29 kasus dan pada Januari-Maret 2013 ini jumlahnya naik lagi menjadi 37 kasus.

Berdasarkan catatan Kompas, pada 2010 seorang siswi asal Surabaya menghilang dari rumah saudaranya di kawasan Tangerang juga karena dibawa lari teman kenalannya di Facebook.

Obrolan di media sosial

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, hampir setiap korban yang terjerat dalam kejahatan itu diawali dengan perkenalan dan obrolan di media sosial yang umumnya terjadi di Facebook. Dalam proses itu, sebagian besar korbannya terpikat bujuk rayu pelaku. Untuk meyakinkan korban, pelaku juga menjanjikan memberikan barang ataupun kesempatan yang sedang diidamkan korban. Hampir 80 persen kasus itu menimpa anak dari keluarga menengah ke bawah, dan sebagian kecil dari keluarga menengah ke atas.

ES, korban pemerkosaan tujuh remaja dan pemuda yang merupakan anggota geng di kawasan Condet, Jakarta Timur, mulanya dijanjikan akan diberikan Blackberry oleh salah satu pelaku berinisial Ilh (20). Menurut Su (43), ibu ES, hanya butuh waktu tiga hari perkenalan di Facebook, anaknya jadi mau dibawa pergi Ilh yang berstatus sebagai mahasiswa itu.

ES menghilang dari rumahnya selama empat hari. Berkat bantuan teman satu kelas yang selalu menghubungi ES, Su dapat menemukan anaknya pada 5 Maret di Condet. ”Anak saya mengaku Ilh yang rajin mengirim pesan di Facebook. Ilh juga yang menjemput anak saya pergi ke Condet,” tutur Su.

Pada 2012, SS (15), anak dari keluarga pengusaha, berperawakan tinggi dan berparas oriental, dibawa lari kenalannya di Facebook berinisial BH alias Mika (32). Cita-citanya menjadi model dimanfaatkan Mika dengan menjanjikan SS sebagai model asalkan pergi dengannya. Total 11 hari SS menghilang, dia dibawa pelaku menginap di motel dan indekosnya di Tanjung Duren, Jakarta Barat. SS termakan doktrin pelaku untuk bisa jadi model terkenal. Selama itu, SS difoto bugil dan disetubuhi pelaku.

Pakar semiotika Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Dunia yang Dilipat, menjelaskan bahwa internet, video, dan foto, merupakan media yang meredusir atau mengerdilkan ruang dan waktu ke dalam berbagai dimensi dan ke dalam wujud atau representasi yang lebih ringkas. Yang menjadi persoalan, ketika representasi itu—kekuatan bahasa, media, dan tanda—begitu dominan, maka ia mengendalikan realitas itu sendiri, dalam pengertian ia mengklaim dirinya sebagai realitas.

Menurut penggiat media sosial Wicaksono, tak sedikit kehidupan di media sosial menjelma sebagai hiper-realitas, melampaui kenyataan. Kondisi itu yang menyebabkan media sosial menjadi dunia yang sarat tipuan, serta memberikan celah bagi kejahatan. ”Celah-celah itu berupa identitas pribadi yang diumbar, serta mudahnya berkomunikasi secara terbuka dengan orang yang baru dikenal,” katanya.

Sementara itu, perilaku pengguna media sosial di Indonesia, lanjutnya, sebagian besar belum matang. Umumnya masih belum menyadari bahwa media sosial adalah ruang publik di dunia maya. Setiap foto dan perkataan yang disiarkan di media itu bisa diamati orang lain. ”Kondisi ini menjadi rawan karena pengguna media sosial di Indonesia cukup banyak, terutama anak-anak yang memang kejiwaannya belum matang,” kata Wicaksono.

Mudah dimanipulasi

Berdasarkan statistik yang disiarkan situs Socialbaker.com, Jakarta menempati peringkat kedua kota di dunia sebagai pengguna Facebook terbanyak setelah Bangkok, dengan jumlah sebanyak 11,6 juta pengguna. Padahal jumlah penduduk Jakarta hanya 9,6 juta jiwa. Artinya, diperkirakan ada pengguna yang memiliki lebih dari satu akun Facebook.

Liza Marielly Djaprie, psikolog yang menangani beberapa korban pemerkosaan oleh teman yang dikenal melalui media sosial, mengungkapkan, kejiwaan anak dan remaja yang belum matang tersebut rawan dipengaruhi orang lain. Namun, masalahnya, saat ini ada indikasi anak semakin mudah dimanipulasi juga karena fondasi norma dan nilainya juga lemah.

Dari beberapa korban yang ditangani, menurut dia, tak muncul insting survival pada diri mereka, seperti melarikan diri atau berteriak saat bersama pelaku. Kondisi kehidupan di Jakarta yang berorientasi pada konsumsi, kata Liza, juga diperkirakan membuat anak semakin mudah dimanipulasi dengan iming-iming.

Sementara itu, jumlah geng di Jakarta cukup banyak dan tak pernah diatasi secara menyeluruh. Telepon pintar dengan harga murah yang dapat digunakan untuk mengakses internet juga beredar luas sehingga aktivitas di media sosial juga sudah dijangkau kalangan menengah ke bawah.

Sosiolog UI, Imam B Prasodjo, yang giat membina kelompok pemuda, mengungkapkan, remaja dan pemuda di dalam geng itu tak hanya terfokus pada masalah tawuran dan narkoba. Dalam kehidupannya, mereka juga dekat dengan seks. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa tutup mata. (*/K06/MDN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com