Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/04/2013, 16:01 WIB

KOMPAS.com — Begitu mendengar bayinya menangis, seorang ibu secara refleks akan menggendong buah hatinya. Dekapan ibu dan juga bisikan lembut yang menenangkan bayi secara efektif akan membuat tangisannya reda. Sebuah penelitian menunjukkan mengapa bayi langsung tenang dalam gendongan.

Ketika bayi yang sedang rewel digendong oleh ibunya, mereka langsung merasakan ketenangan otomatis. Detak jantung ibu yang sudah dikenalnya, pelukan, tatapan mata, dan kata-kata hiburan yang diberikan ibu sambil menggendong akan membuat bayi merasakan kenyamanan.

Efek evolusi ini bukan hanya tampak pada bayi manusia, melainkan juga mamalia lain seperti tikus. Ketenangan otomatis tadi melibatkan koordinasi dari regulasi pusat, motor, dan jantung. Hal ini juga dapat menjelaskan kenapa bayi menangis kembali saat gendongan dilepaskan. Menurut para peneliti, penjelasan ini akan membantu mencegah frustrasi orangtua serta kekerasan pada anak.

"Dari manusia hingga tikus, bayi mamalia lebih tenang dan rileks ketika mereka sedang dalam gendongan ibunya," ujar peneliti Kumi Kuroda dari RIKEN Brain Science Institute di Saitama, Jepang. Respons tenang dari bayi, lanjut Kuroda, dapat mengurangi beban ibu yang menggendong sehingga menggendong bayi bukan hanya bermanfaat bagi bayi, melainkan juga bagi ibu.

Menurut para peneliti, ketika bayi dalam rengkuhan ibunya, mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. Ibu pun merasa tak terlalu tertekan jika bayinya tenang dan rileks. "Ini adalah win-win solution," ujar mereka.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Current Biology ini mencatat adanya penurunan detak jantung secara cepat ketika bayi digendong. Mereka juga berhenti bergerak. Para peneliti mengatakan, proses ini melibatkan area tertentu dari otak dan sistem saraf bayi.

"Mengerti kenapa bayi menangis dari perspektif bayi sendiri dapat mengurangi tendensi orangtua untuk menjadi frustrasi dan tidak sabar sehingga dapat mencegah kekerasan pada anak," ungkap para peneliti.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com