Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ruang Laktasi tak Layak Persulit Program ASI Eksklusif

Kompas.com - 14/05/2013, 18:48 WIB

KOMPAS.com - Sebanyak 16 persen pekerja formal wanita di Jakarta ternyata hanya menyusui bayinya hingga usia 3-4 bulan. Sementara hanya 12,2 persen saja yang menyusui bayi secara eksklusif hingga 6 bulan. Minimnya ruang laktasi yang layak di tempat kerja diduga sebagai salah satu faktor penyebab para pekerja wanita masih kesulitan memberi ASI eksklusif.

Hal ini terungkap dalam pemaparan penelitian Pemberi ASI Eksklusif pada Perempuan Pekerja Sektor Formal, Selasa (14/5/2013) di Jakarta.

Penelitian melibatkan 192 subyek terdiri atas 77 pegawai negeri sipil (PNS) dan 115 pekerja pabrik dari semua strata pekerja. Riset dilakukan pada 4 instansi pemerintahan dan 2 perusahaan swasta di Jakarta. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara acak.

"Ada berbagai alasan yang menyertai keputusan ini. Salah satunya karena tidak ada tempat yang nyaman untuk memerah ASI," kata peneliti Ray Basrowi dari Program Pendidikan Magister Kedokteran Kerja Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI.

Dari riset juga terungkap, sekitar 72,3 persen responden menganggap, tempat bekerja tidak menyediakan tempat representatif untuk memerah ASI. Ketidaknyamanan membuat para ibu ragu memerah ASI di lokasi tempatnya bekerja.

Akibatnya, kata Ray, walaupun perkantoran menyediakan ruang untuk memerah ASI, para ibu tidak memerah ASInya. Alasan utama para responden adalah, ruang memerah ASI dinilai kurang private dan bersih.

"Kadang hanya ditutupi korden atau terlalu jauh. Ada juga yang wastafelnya tidak jalan, sehingga para ibu tidak bisa cuci tangan," kata Ray.

Jauhnya ruang menyusui menyebabkan waktu istirahat pekerja terbuang. Menurut Ray diperlukan rata-rata waktu kurang lebih 60 menit untuk pulang pergi ke ruang memerah ASI. Kondisi ini menyebabkan 7,3 responden merasa cemas dan repot harus bolak balik tempat kerja. Hal ini menyebabkan 6,8 pekerja merasa tidak nyaman.

Sedangkan 1,6 persen partisipan menganggap ASI-nya akan terbuang karena tempatnya bekerja tidak menyediakan tempat penyimpanan ASI. Akibatnya, 50 persen pekerja terpaksa memompa ASI di toilet. Pekerja juga harus membawa sendiri kotak pendingin ASI. Padahal, menurut Ray, toilet tidak representatif untuk memerah ASI. Toilet kurang memberikan kenyamanan dan kebersihan bagi ibu yang hendak memerah ASI.

Sebetulnya menyediakan tempat memerah ASI tidaklah sulit. Menurut spesialis okupasi atau kesehatan kerja dari Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,  Dr.dr.Astrid Widjajati Sulidtomo, MPH,Sp.Ok tempat sederhana tidak masalah asalkan dapat menjamin privasi ibu, ada air mengalir, memiliki tempat duduk nyaman, dan ada lemari es.

Tidak ada batasan besarnya ruang menyusui yang harus disediakan. "Yang pasti, manajemen harus punya komitmen untuk menyediakan satu ruangannya sebagai ruang ASI. Sederhana tidak masalah," kata Astrid.

Adanya ruang menyusui dan memerah ASI sebetulnya teah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. SKB ini mewajibkan perusahaan untuk menyediakan ruang laktasi di tempat kerja agar ibu bisa menyusui anaknya dan/atau memerah ASI untuk anaknya.

Keberatan APINDO

Diwawancara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi mengungkapkan keberatannya. "Kalau membangun satu ruangan khusus pengusaha keberatan. Kalau menggunakan ruangan yang sudah ada mungkin bisa," katanya.

Menurut Sofjan, pembangunan satu ruangan khusus laktasi akan menambah biaya modal. Selain dari sisi pembangunan, pengusaha juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk penjaga ruangan. Selain itu, pekerja dikhawatirkan tidak fokus pada pekerjaannya. Hal ini dikhawatirkan berdampak pada pekerjannya.

"Mungkin kalau sebatas menyediakan kulkas untuk penyimpanan ASI pengusaha masih bisa. Tapi kalau ruangan khusus untuk ASI kita keberatan," kata Sofjan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com