Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/05/2013, 06:52 WIB

Oleh IRWAN JULIANTO

Satu demi satu misteri penyebab diabetes melitus tipe 2 mulai terungkap. Para peneliti Harvard School of Public Health (HSPH) baru saja memublikasikan temuan mereka bahwa ada satu jenis protein atau hormon khusus yang ditemukan dalam sel-sel lemak yang terbukti membantu mengatur bagaimana gula darah dikendalikan dan dimetabolisasi untuk energi di dalam hati. Ini dikatakan akan membuka salah satu jalan bagi pengobatan diabetes tipe 2 yang menjangkiti ratusan juta penduduk dunia.

Diabetes tipe ini tidak bergantung pada insulin dan terjadi pada orang-orang dewasa (adult onset), berbeda dengan diabetes tipe 1 yang bergantung pada insulin dan terjadi sejak bayi. Diabetes tipe 2 dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah akibat terjadinya kekurangan dan resistansi insulin. Kemampuan sel-sel beta pankreas berkurang bahkan rusak sehingga pasien mulai mengalami diabetes, dengan gejala-gejala seperti banyak makan (polifagia), banyak minum (polidipsia), dan banyak kencing (poliuria).

Jumlah kasus diabetes tipe 2 hampir sepuluh kali lipat kasus diabetes tipe 1 yang terjadi karena kerusakan pankreas sejak bayi. Hingga sekarang diyakini bahwa kegemukan menjadi penyebab utama terjadinya diabetes tipe 2 pada orang-orang yang memang secara genetis sudah membawa gen pembawa penyakit ini.

Dua-tiga dekade lalu sudah diketahui adanya hubungan antara kegemukan dan diabetes tipe 2, tetapi belum jelas apakah kegemukan memicu diabetes jenis ini ataukah hanya mempercepat terjadinya. Riset di Amerika Serikat menunjukkan, orang-orang dengan obesitas tiga kali lebih mudah terjangkit diabetes dibandingkan dengan mereka yang tidak kegemukan. Makin tua seseorang, risiko terkena diabetes tipe 2 juga kian besar. Orang-orang berusia 65 tahun, misalnya, lebih mungkin terserang dibandingkan dengan mereka yang berusia di bawah 20 tahun.

Diabetes tipe 2 juga diketahui erat hubungannya dengan faktor keturunan. Jika dalam keluarga Anda ada yang mengidap diabetes, kemungkinan Anda terjangkit diabetes cukup besar.

Jika ayah atau ibu Anda dan kakek atau nenek serta bibi atau paman Anda menderita penyakit ini, peluang Anda mengalami diabetes tipe 2 mendekati 85 persen. Jika ayah dan nenek mengidap diabetes, risiko Anda cuma 60 persen. Jika hanya ibu yang menderita, maka 22 persen risikonya bagi Anda akan menderita pula.

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada orang dewasa akibat perubahan gaya hidup, berkurangnya kegiatan jasmani, dan jenis makanan/minuman yang serba fast food dan soft drink. Namun, saat ini diabetes tipe 2 ditemukan juga pada anak-anak dan remaja di Asia.

Penyakit kronis ini diyakini menyebabkan usia harapan hidup bagi penderitanya sepuluh tahun lebih pendek dibandingkan dengan orang-orang non-diabetik akibat komplikasi penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal ginjal. Diabetes tipe 2 juga menyebabkan kecacatan, seperti kebutaan akibat komplikasi retinopati dan meningkatnya risiko sebesar 20 kali amputasi tungkai bawah. Pengidap diabetes ini mudah lupa dan mengalami impotensi.

Multipatologi

Selama berpuluh tahun para peneliti dan dokter dihadapkan pada misteri: tidak semua orang yang kegemukan atau resistan terhadap insulin mengidap diabetes tipe 2. Bahkan, cukup banyak orang yang amat gemuk tak terserang penyakit ini. Para ilmuwan lalu berteori bahwa ada suatu faktor yang tak dikenal yang terlibat dalam metabolisme glukosa dalam hati, dan mungkin kehadiran atau absennya elemen ini, dapat menentukan siapa yang terkena diabetes tipe 2.

Dalam jurnal Cell Metabolism edisi 7 Mei 2013, para peneliti HSPH mengungkapkan, dunia ilmiah sudah lama mengetahui bahwa salah satu peristiwa kunci bagi berkembangnya diabetes tipe 2 adalah produksi glukosa yang tak terkontrol dari hati.

”Namun, mekanisme yang mendasarinya tetap masih sukar dipahami,” kata Gökhan S Hotamisligil, Kepala Departemen Genetika dan Penyakit-penyakit Kompleks, dan JS Simmons, profesor genetika dan metabolisme di HSPH. ”Kami sekarang berhasil mengidentifikasi aP2 sebagai suatu hormon baru yang dikeluarkan dari sel-sel lemak yang mengontrol fungsi kritis ini.”

Lewat percobaan dengan mencit di laboratorium memakai teknologi mutakhir ditemukan bahwa jika jumlah aP2 berlebih, timbullah diabetes. Sebaliknya, jika hormon ini diblok atau di-switch-off, produksi glukosa dari hati dapat dikontrol lebih baik sehingga manifestasinya berupa diabetes tipe 2 dan penyakit-penyakit metabolik lainnya pun dapat dicegah.

Kemampuan sebuah organ—dalam hal ini jaringan lemak—begitu langsung dan menentukan dalam mengendalikan tindakan organ lain, yaitu hati, amat menarik, kata Hotamisligil. ”Kami menduga sistem komunikasi antara jaringan lemak dan hati telah berevolusi untuk membantu sel-sel lemak memberi komando kepada hati untuk menyuplai tubuh dengan glukosa pada saat-saat terjadinya kekurangan nutrien. Betapa pun, ketika sel-sel lemak yang membesar kehilangan kendali terhadap sinyal ini karena kondisi obesitas, tingkat aP2 dalam darah naik, glukosa diguyurkan ke dalam aliran darah dan tidak dapat dibersihkan oleh jaringan-jaringan lain. Hasilnya adalah tingginya kadar glukosa darah dan diabetes 2.”

Guru Besar FK UI yang mendalami diabetes, Sidartawan Soegondo, menyatakan, temuan para ilmuwan Harvard ini merupakan sumbangan berarti bagi perkembangan ilmu kedokteran. ”Akhir-akhir ini saya mengajarkan bahwa diabetes tipe 2 adalah penyakit dengan multipatologi,” ujarnya ketika dihubungi pada Selasa (21/5). Kini, selain organ pankreas, diabetes tipe 2 diketahui pula dipicu juga oleh metabolisme sembilan organ lain, antara lain hati dan ginjal.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com