JAKARTA, KOMPAS
Proses ratifikasi kerangka acuan pengendalian tembakau di Indonesia masih jauh. Penolakan dari sejumlah kementerian dan organisasi masyarakat masih terjadi. Namun, ratifikasi diperlukan untuk menjamin kesehatan masyarakat dari penyakit akibat paparan asap rokok.

”Indonesia sedang menuju ke ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) meski belum dalam waktu dekat,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Sabtu (28/9) di Jakarta.

Ia mengungkapkan, proses ratifikasi ini tidak mudah. Sebagian kementerian dan lembaga swadaya masyarakat menyatakan, proses ratifikasi akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Di antaranya, menurunkan pendapatan cukai, meningkatkan pengangguran terutama pekerja industri rokok, merugikan petani tembakau dan cengkeh, serta sejumlah dampak lainnya.

”Surat tersebut ada yang ditujukan kepada Presiden (dan juga diteruskan ke Menkes), juga ke saya langsung. Saya sudah menulis jawaban,” kata Nafsiah.

Beberapa surat keberatan dari kementerian itu berasal dari Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Adapun surat keberatan dari organisasi antara lain dari Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia, Forum Komunikasi Pekerja/Buruh Rokok Tembakau Indonesia, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia. Semua surat dikirim pada Juli 2013.

Ia mengatakan, argumen yang disampaikan di dalam surat tersebut tidak masuk akal dan tidak berdasar data yang valid. Misalnya, Kementerian Perindustrian mengkhawatirkan ratifikasi akan mengancam 6 juta pekerja.

”Yang menjadi pekerja langsung itu 900.000 orang. Sisanya petani tembakau dan cengkeh. Catatan penting, cengkeh yang digunakan untuk bahan tambahan rokok itu cuma sedikit. Lebih banyak untuk parfum dan sebagainya,” katanya.

Alasan pentingnya cukai rokok bagi anggaran negara, menurut dia, tidak masuk akal. ”Dulu waktu saya masih menjadi anggota DPR (1992-1997), benar cukai itu 30 persen dari APBN. Tetapi, kondisi sekarang sudah tak masuk akal. Kontribusi cukai rokok hanya Rp 100 triliun, sedangkan APBN kita mencapai Rp 1.500 triliun,” paparnya.

Sudah mengkhawatirkan

Rob Moodie, profesor kesehatan masyarakat di Melbourne School of Population Health Australia, mengatakan, kondisi pengendalian tembakau di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Ia melihatnya dari sisi peningkatan prevalensi jumlah perokok anak dari 24,2 persen (2001) menjadi 37,3 persen saat ini.

”Masa depan mereka nanti tidak akan produktif karena berbagai penyakit yang mengancam serta kematian prematur,” katanya.

Kecenderungan tersebut juga diperkuat dengan data berbagai penyakit akibat paparan asap rokok, seperti stroke dan serangan jantung, yang telah menghinggapi penduduk usia 30 tahunan.

Peningkatan itu antara lain karena ”cuci otak” dari berbagai iklan di berbagai tempat/media serta sponsor di berbagai ajang olahraga, budaya, dan pendidikan. Iklan yang seolah mengatakan merokok adalah ”laki-laki”, gaul, dan ”berkelas” membuat masyarakat mengesampingkan bahaya rokok bagi perokok dan orang di sekitarnya.

Melalui FCTC, negara-negara di dunia merumuskan cara atau mekanisme yang tepat untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Salah satunya, pengaturan/pembatasan/penghentian iklan/sponsorship rokok. (ICH)