Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/09/2013, 17:53 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com - Implementasi FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control dalam aturan negara Indonesia dinilai tidak merugikan pihak manapun, termasuk industri rokok. Penerapan aturan pengendalian tembakau ini tidak lantas membuat perusahaan merokok merugi, dan menghilangkan lapangan pekerjaan.

“Kalau sekarang diimplementasikan tidak mungkin besok langsung gulung tikar. Apalagi kondisi pasar perusahaan rokok adalah fixed market,” kata aktivis anti merokok dr Prijo Sidipratomo SpRad ketika dihubungi Kompas Health, Senin (30/9/2013).

Fixed market, kata Prijo, adalah kondisi pasar yang tidak bisa dimasuki produk lain dengan konsumen yang sudah jelas. Hal ini dikarenakan sifat rokok yang menimbulkan adiksi atau ketergantungan. Saat seseorang sudah terperangkap rokok akan sulit melepaskan dari ketergantungan yang mengikatnya. Saat itulah dia menjadi konsumen tetap rokok yang pastinya akan membeli produk tembakau tersebut.

“Kita bisa melihat Thailand yang sudah mengaksesi FCTC. Pabrik rokok di negara tersebut tidak lantas tutup dan terjadi PHK besar-besaran. Semua berjalan baik-baik saja, karena kondisi pasar rokok yang bersifat fixed market,” kaya Prijo.

Saat ini jumlah perokok pria di Indonesia mencapai 70 persen, sedangkan sisanya ditempati wanita. Dalam setahun ada sekitar 302 miliar batang rokok yang dihabiskan. Jumlah tersebut masih menunjukkan kecenderungan peningkatan yang semakin besar. Jumlah tersebut juga tidak mungkin beralih ke alternatif lain, selama perokok tidak melepaskan dari adiksi yang menggantungnya.

Selama konsumen masih ada, maka tidak mungkin pabrik rokok akan merugi. Perlakuan FCTC juga tidak merugikan pengusaha terkait besarnya cukai yang ditanggung.

“Dalam perundang-undangan yang ada, cukai hanya mentok sampai 57 persen. Hal ini tidak seberapa dibanding cukai di Singapura, Brunei Darussalam, bahkan Amerika Serikat,” kata Prijo.

Cukai di ketiga negara tersebut mencapai 80 persen, yang tentunya lebih memberatkan pengusaha rokok. Dengan kondisi seperti ini, Prijo mengatakan, sangat tidak masuk akal bila pengusaha, organisasi, atau kementerian masih menolak FCTC.

Perlakuan FCTC bertujuan melindungi generasi muda dari produk tembakau yang berdampak negatif, bukannya membangkrutkan usaha rokok. 

Indonesia bisa dipastikan merugi bila tidak meratifikasi FCTC. Hal ini dikarenakan Indonesia tak punya hak suara pada kebijakan internasional apapun, yang berkaitan dengan tembakau. Padahal FCTC dibentuk oleh negara yang punya kepentingan pada tanaman bahan baku rokok ini, seperti halnya Amerika Serikat.

“Misalnya saja untuk cukai. Kita hanya bisa 57 persen, padahal negara lain hingga 80 persen. Hal ini bisa berbeda bila kita sudah meratifikasi FCTC,” kata pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi.

Tulus menilai, kebijakan yang diambil sudah bernapaskan FCTC misal untuk iklan, penjualan, atau aturan merokok. Namun hal tersebut masih belum cukup mengendalikan penggunaan produk tembakau, terutama rokok, di kalangan generasi muda.

“Namun saya percaya Indonesia pasti akan meratifikasi FCTC, karena tekanan negara lain yang sudah lebih dulu mengaksesi. Sejak dicetuskan sekitar tahun 2000, sudah 178 negara yang mengimplementasikan, termasuk Amerika Serikat,” kata Tulus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com