Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/10/2013, 19:04 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com —
Peluncuran berbagai merek mobil murah atau yang dikenal juga dengan program low cost green car (LCGC) belum lama ini menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Di satu pihak, penambahan volume mobil dikhawatirkan memperburuk kondisi kemacetan. Sementara di sisi lain, LCGC membuka kesempatan lebih besar bagi masyarakat untuk mampu membeli mobil.  

Terlepas dari kontroversi tersebut, meningkatnya daya beli mobil juga artinya mengurangi kecenderungan orang untuk menggunakan transportasi umum. Padahal, menggunakan transportasi umum merupakan salah satu cara untuk mengurangi gaya hidup kurang aktivitas fisik atau sedentary lifestyle.

Menurut pemerhati gaya hidup dan ahli fisiologi, dr Grace Judio-Kahl, gaya hidup di negara-negara yang sudah maju justru sudah meninggalkan gaya hidup sedentary dan memperbanyak aktivitas berjalan kaki. Berbeda dengan di Indonesia, gaya hidup sedentary justru sedang menjamur di mana-mana.

"Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, justru banyak yang memiliki gaya hidup sedentary, lebih banyak duduk, kurang berjalan. Dengan menggunakan transportasi umum, paling tidak, bisa lebih banyak jalan dan bergerak," katanya saat dihubungi Kompas Health, Rabu (2/10/2013).

Gaya hidup sedentary, jelas Grace, merupakan faktor risiko dari banyak penyakit, terutama yang berhubungan dengan sindrom metabolik. Asam urat, diabetes, penyakit jantung, merupakan penyakit-penyakit yang dipicu oleh gaya hidup tersebut.

Grace mengatakan, bertambah mudahnya hidup, tidak perlu berjalan jauh untuk mencapai tujuan, dapat mengurangi kebutuhan kalori manusia. Misalnya, jika banyak berjalan, seseorang butuh makan 2.000 kalori per hari. Saat tidak terlalu aktif, dia hanya butuh 1.500 kalori per hari.

"Manusia memiliki laju metabolisme basal (BMR), yaitu kebutuhan energi untuk hidup seperti mempertahankan temperatur tubuh, kerja paru-paru, detak jantung, dan sistem tubuh lainnya. Jumlah kalori yang dibutuhkan untuk BMR relatif tetap, namun kalori tambahan untuk kegiatan lain itulah yang berbeda, tergantung aktivitas fisiknya," papar pemilik Klinik lightHOUSE ini.

Grace membandingkan, seseorang yang tidak melakukan aktivitas fisik, seperti banyak menggunakan kendaraan pribadi dan tidak berolahraga, kebutuhan kalorinya hanyalah BMR ditambah 30 persen. Sementara seseorang yang aktif bergerak kebutuhan kalorinya bisa mencapai BMR ditambah 40 hingga 50 persen.

Sayangnya, imbuhnya, banyak yang tidak menyadari kebutuhan kalorinya sudah berkurang dan tetap mempertahankan kebiasaan makan dalam jumlah banyak. Alhasil, berat badan jadi meningkat.

"Yang bahaya peningkatan berat badan terkonsentrasi pada perut. Lemak perut mengandung 200 jenis hormon yang memicu penyakit," tandas dia.

Oleh karena itu, Grace menyarankan perlunya lebih aktif bergerak untuk mengurangi kecenderungan gaya hidup sedentary. Penggunaan transportasi umum mungkin dapat menjadi upaya untuk lebih banyak berjalan dan aktif bergerak.

Kendati demikian, menggunakan transportasi umum bukan berarti tanpa risiko. Banyak berjalan di jalanan, terutama kota-kota besar, meningkatkan risiko terpapar polusi.

Spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Budhi Antariksa mengatakan, menggunakan transportasi umum lebih berisiko terpapar polusi daripada dengan mobil pribadi. Hanya, penambahan jumlah mobil bukan merupakan solusi yang terbaik terhindar dari polusi.

"Justru dibutuhkan pengurangan volume mobil pribadi dan memperbanyak transportasi umum karena bisa lebih efisien mengangkut banyak orang," katanya saat dihubungi, Kamis (3/10/2013).

Menurutnya, meskipun dengan embel-embel nama green car, mobil tersebut tetaplah kendaraan bermotor yang menyumbang polusi udara. Jadi, penambahan jumlah kendaraan bermotor sama saja dengan menambah kadar polutan.

"Untuk menekan paparan polusi, yang paling penting adalah mengurangi jumlah kendaraan yang beredar," tandasnya.

Pemerintah, lanjut dia, juga perlu melakukan penetapan standar baku mutu lingkungan dan pengontrolan terhadap kendaraan yang tidak sesuai dengan standar. Menurut Budhi, jika tidak sesuai dengan standar, kendaraan itu perlu dilarang beredar.

Polusi diketahui merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan. Polutan seperti karbon monoksida bisa berikatan dengan hemoglobin darah sehingga mengurangi kemampuannya berikatan dengan oksigen. Akibatnya, terjadilah peningkatan risiko penyakit saraf, jantung, atau paru-paru.

Penelitian juga menunjukkan, polusi dapat memicu pengerasan arteri dan menurunkan kadar kolesterol "baik" dalam darah. Polusi juga dikaitkan dengan risiko autisme, diabetes, ataupun kanker pada anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com