Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/12/2013, 09:17 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com - Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 menunjukkan cakupan ASI di Indonesia hanya 42 persen. Angka ini jelas berada di bawah target WHO yang mewajibkan cakupan ASI hingga 50 persen.

Dengan angka kelahiran di Indonesia mencapai 4,7 juta per tahun, maka bayi yang memperoleh ASI, selama enam bulan hingga dua tahun, tidak mencapai dua juta jiwa.

Walau mengalami kenaikan dibanding data Riskesdas 2007 dengan angka cakupan ASI hanya 32 persen, cakupan tahun ini tetap memprihatinkan. Angka ini sekaligus menunjukkan, kenaikan cakupan ASI per tahun hanya berkisar dua persen

Angka ini menandakan hanya sedikit anak Indonesia yang memperoleh kecukupan nutrisi dari ASI. Padahal ASI berperan penting dalam proses tumbuh kembang fisik dan mental anak dengan dampak jangka panjangnya.

Menurut Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI, Dedy Izwardi, rendahnya cakupan ASI dipengaruhi fasilitas yang ada di lingkungan kerja para ibu.

“Seperti yang diketahui saat ini kebanyakan ibu berstatus sebagai pekerja. Kondisi lingkungan kerja tidak mendukung ibu untuk memerah ASI maupun membawa bayinya. Akibatnya tidak semua ibu bisa menyusui anaknya,” ujarnya saat dihubungi Kompas Health pada Kamis (19/12/2013).

Dedy mengatakan, bila lingkungan kerja bisa mendukung ibu untuk menyusui maka cakupan ASI bisa meningkat.

Keharusan lingkungan kerja untuk mendukung pemberian ASI sudah tercantum dalam peraturan pemerintah (PP) nomer 33 tahun 2012. Dukungan ini mencakup fasilitas dan aturan yang mempermudah ibu memberikan atau memerah ASI, di tengah jam kerja.

“Aturannya memang sudah ada, namun dalam pelaksanaanya memang lebih bersifat kesadaran. Saat ini kami tengah menyusun peraturan yang lebih tegas terkait fasilitas pendukung ASI di tempat kerja, termasuk sanksi bila tidak menyediakannya,” kata Dedy.

Dukungan tempat kerja terhadap ibu menyusui menjadi penting, didasari pada manfaat ASI yang tidak terbantahkan, salah satunya pada peningkatan kemampuan kognitif anak.

Dedy mengatakan, riset Eropa membuktikan pemberian ASI mendukung anak meraih pendidikan lebih tinggi. Hasil senada diperoleh riset yang dilakukan di Denmark pada 3.203 anak. Dalam riset tersebut, anak yang menyusu ASI kurang dari satu bulan memiliki tingkat IQ lebih rendah dibanding yang memeproleh ASI hingga 7-9 bulan.

ASI juga meningkatkan daya tahan tubuh anak. Dalam riset yang dimuat dalam buletin Lancet pada 2013 diungkapkan, pemberian ASI bisa menekan kematian balita hingga 13 persen.

Selain untuk anak, ASI juga memberi manfaat bagi ibu. Dedy mengatakan, walau belum ada angka pasti, risiko terkena kanker serviks dan payudara lebih rendah pada ibu yang menyusui.

“Dengan segala manfaat ini tak berlebihan jika memberikan ASI adalah kewajiban bagi ibu dan hak untuk anak. Lingkungan kerja tentu harus mendukung supaya pemberian ASI bisa berlangsung dengan baik,” kata Dedy.

Menanggapi hasil Riskesdas, Nia Umar, Ketua Ikatan Konselor Menyusui Indonesia, mengatakan angka cakupan ASI tidak cukup hanya dilihat secara global, dalam hal ini disebut 42 persen.

"Perlu ada penjelasan berapa angka IMD, cakupan ASI eksklusif enam bulan, supaya bisa mengukur dan evaluasi program yang selama ini sudah berlangsung untuk mendukung ibu menyusui," terangnya saat dihubungi Kompas Health, Jumat (20/12/2013).

Menurutnya, cakupan ASI menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan data Riskesdas tahun sebelumnya. Ia menyoroti angka cakupan ASI eksklusif pada Riskesdas sebelumnya hanya 15,3 persen. Meski tak ada data yang menyebutkan cakupan ASI eksklusif pada tahun ini, Nia mengatakan gencarnya kampanye menyusui sejak 2007 menunjukkan adanya peningkatan ibu menyusui.

Bukan masalah kemauan tapi dukungan
Senada dengan Dedy, peningkatan cakupan ASI menurut Nia, bisa lebih signifikan jika ibu mendapatkan informasi tepat mengenai menyusui.

"Mereka akan berusaha menyusui jika mendapatkan informasi tepat. Tantangannya sebenarnya bukan pada kemauan tapi dukungan. Ketika mendapat informasi menyusui adalah yang terbaik, semua ibu akan memberikan namun seringkali yang terjadi mereka tidak bisa memberikan ASI karena kurangnya dukungan," ungkapnya.

Ibu bekerja, kata Nia, membutuhkan dukungan berupa kesempatan memerah di tempat kerja, fasilitas tempat memerah, jam kerja juga semestinya bisa diatur sesuai kebutuhan ibu yang berbeda satu dengan lainnya.

"Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam memberikan dukungan kepada ibu bekerja untuk menyusui. Sektor pekerjaan juga turut memengaruhi. Misalnya, teller di bank, saat akan memerah ASI, harus ada yang menggantikan posisinya," Nia mencontohkan.

Idealnya, perusahaan menyediakan daycare sehingga saat waktunya menyusui, ibu bisa memberikan ASI langsung kepada bayi. Fleksibilitas waktu kerja, apalagi jika memberikan kesempatan ibu bisa bekerja di rumah, ini juga bisa menjadi alternatif.

"Kalau memungkinkan, ibu bisa bersama bayi di daycare. Ada perusahaan yang punya daycare," terangnya.

Solusi jangka panjangnya, kata Nia, harus memulai advokasi cuti melahirkan hingga enam bulan. Seperti yang sudah dijalankan Vietnam sejak 2012.

Nia mengatakan, sebenarnya banyak cara untuk mendukung ibu bekerja menyusui, kuncinya terletak pada komunikasi yang baik. "Selama mengkomunikasikan kebutuhan ibu bekerja untuk menyusui, dengan baik, setiap perusahaan bisa memberikan dukungannya," tuturnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com