Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Orangtua Menerima dan Menangani Anak Autistik (Bagian II - Habis)

Kompas.com - 27/12/2013, 13:19 WIB
Wardah Fajri

Penulis

KOMPAS.com - Tak mudah bagi orangtua mana pun dalam menerima kondisi anak berkebutuhan khusus. Kepada Kompas Health, dua ayah dengan anak autistik menceritakan pengalamannya menerima dan menangani anak berkebutuhan khusus, juga menghadapi berbagai tantangannya.

Apa yang dialami Farhan (Baca:Tantangan Orangtua Menerima dan Menangani Anak Autistik - Bagian I) juga dialami ayah dua anak, Yasmir. Anak sulungnya, Lailatul Amanah, 11, terdiagnosa mengalami gangguan sindrom autisma pada usia 2,5 tahun.

Pria yang bekerja sebagai satpam di perumahan kalangan menengah atas di Bekasi ini juga berhadapan dengan intervensi keluarga juga lingkungan dalam menangani anaknya.

Tidak sulit bagi Yasmir dan istrinya untuk menangani puteri sulungnya saat berada di rumah. Namun, ketika pulang kampung ke Palembang, intervensi pun mulai berdatangan.

"Kami tinggal sendiri di Bekasi. Keluarga di Palembang. Saat pulang kampung, keluarga suka bertindak sendiri. Membawa anak saya ke orang pintar. Kami terima saja, karena hanya beberapa waktu saja di kampung. Sehari-harinya kami menjalani terapi dan penanganan yang seharusnya," tuturnya pada kesempatan yang sama.

Selain keluarga besar, tantangan Yasmir juga datang dari orang terdekatnya. Sang istri butuh waktu satu tahun untuk menerima kondisi anaknya yang mengalami gangguan sindrom autisma.

Yasmir adalah orang pertama yang mendapati adanya gangguan pada anaknya. Ia melihat perbedaan perilaku dalam diri puterinya. Ia kemudian mencari tahu mengenai tanda-tanda tersebut dengan membaca. Ia pun memahami perilaku anaknya menunjukkan tanda-tanda individu autistik.

"Perilakunya berbeda, pada usia 2,5 tahun dia juga belum bisa bicara, selain dia juga tidak ada minat bermain dengan temannya. Dia asyik dengan dunianya sendiri. Kalau ada yang bakar sampah, ada api, dia langsung kejar, tertawa sendiri dan loncat-loncat," tuturnya.

Penyangkalan memang tak ada dalam diri Yasmir, tapi dialami istrinya. Namun tak mudah baginya bersama istri menanggapi intervensi lingkungan. Jika saja ia terbawa arus tanggapan orang-orang di sekitarnya, barangkali keluarganya terjebak dalam harapan semu.

"Saat ibu belum bisa menerima, ia berharap anaknya tidak mengalami gangguan. Omongan tetangga menguatkan harapan ini. Menganggap biasa saja jika anak usia 2,5 tahun belum bisa bicara, berharap nanti pada waktunya bisa bicara. Menganggap perilaku yang berbeda sebagai hal biasa dan berharap akan berubah dengan sendirinya. Membuat orangtua berharap seperti ini bisa menghambat," katanya.

Namun, anggapan yang memberikan harapan semu ini tak memengaruhi niat Yasmir untuk mencari tahu kondisi sebenarnya dalam diri anaknya. Yasmir kemudian memeriksakan putrinya ke puskesmas. Bukan solusi yang didapat, justru ia dianggap sok tahu karena mengutarakan pandangannya mengenai tanda autisma pada anaknya.

Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, Yasmir mengajak puterinya ke dokter anak. Kali ini ia mengaku mendapatkan penjelasan lebih baik. Dokter anak mengakui tanda autisma dan merujuk pemeriksaan lebih lanjut ke rumah sakit.

"Pemeriksaan di rumah sakit banyak, dari telinga, kepala, namun saya diminta balik 10 hari lagi. Saya pikirkan lagi, perlu biaya untuk kembali lagi dan periksa lagi, akhirnya saya tidak kembali ke rumah sakit," jelasnya.

Meski terkendala biaya, Yasmir tak menyerah. Ia mendapati di perumahan tempat ia bekerja ada pusat terapi autisma. Ia mencari tahu dan mendapatkan kesempatan memeriksakan anaknya.

"Saya hanya diberikan daftar pertanyaan, jika saya menjawab enam saja dari pertanyaan tersebut, maka anak saya benar autis. Saya menjawab ya pada 12 pertanyaan. Dari situ saya paham, pemeriksaan autis bukan medis, tapi cukup menjawab pertanyaan mengenai perilaku anak," terangnya.

Karena bekerja sebagai satpam di kawasan pusat terapi autis tersebut, Yasmir mendapatkan potongan harga 50 persen untuk terapi. Lagi-lagi masalah dana menjadi kendala. Yasmir memutuskan hanya melakukan terapi selama sebulan, karena tidak punya cukup biaya.

Melihat kondisi ini, salah seorang guru di pusat terapi autis tersebut menawarkan kesempatan lain. Yasmir bisa melanjutkan terapi dengan biaya yang disesuaikan kemampuan keluarga, di Rumah Autis. Lailatul Amanah merupakan angkatan pertama Rumah Autis Bekasi, lembaga sosial yang memberikan terapi, pelatihan keterampilan, juga sekolah khusus untuk individu autistik kalangan dhuafa.

Dengan terapi tepat, baik waktu penanganan juga metodenya, individu autistik bisa terbantu berkembang lebih optimal. Seperti Farhan yang segera mengajak puteranya menjalani terapi meski masih berusaha menerima kondisi. Juga Yasmir, dengan keterbatasannya, yang gigih mencari kesempatan terapi untuk puterinya. Keduanya tidak terlena dengan kesedihan atau penyangkalan. Sambil berusaha menerima kondisi anak, para orangtua dari individu autistik ini segera mencari terapi terbaik demi perkembangan optimal anak-anaknya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com