Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/02/2014, 09:07 WIB


Oleh : Angger Putranto

DI selasar Rumah Sakit Umum Daerah Dr A Dadi Tjokrodipo, Bandar Lampung, Lampung, Senin (10/2), Sulaiman—sebut saja begitu—sibuk menghubungi adiknya, Ahmad (40), dengan telepon seluler. Pria berusia 44 tahun itu berharap adiknya datang menjaga ibunya yang dirawat. Ia waswas jika ibunya tak ditunggui.

”Kamu di mana? Masih lama, ya? Soalnya, aku harus segera jualan. Sekarang tidak ada yang jaga ibu. Nanti kalau ada apa-apa sama ibu gimana? Jangan sampai ibu jadi korban,” ujar Sulaiman kepada Ahmad dalam bahasa daerah. Sudah hampir seminggu kakak beradik itu bergantian menjaga ibu mereka yang terbaring di salah satu ruangan rawat inap RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo.

Ketika ditemui Kompas, Sulaiman dengan jujur mengakui, sebenarnya keluarganya takut ibunya dirawat di RSUD itu. Alasannya, RSUD tersebut akhir-akhir ini menjadi sorotan publik setelah membuang seorang kakek—pasien miskin dan tak punya keluarga—bernama Suparman (63) ke sebuah gubuk di pinggir jalan Desa Sukadanaham, Kecamatan Tanjungkarang Barat, yang akhirnya dibawa warga, tetapi akhirnya meninggal di RSUD Abdul Moeloek.

”Kami khawatir. Pokoknya harus ada yang menjaga ibu. Kami takut ada perlakuan tak baik dari RSUD,” ujar Sulaiman. Warga Bandar Lampung tersebut terpaksa membawa ibunya berobat di RSUD milik Pemerintah Kota Bandar Lampung itu karena di rumah sakit tersebut, selain jaraknya relatif dekat dengan rumah, juga ada program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pemilik kartu bisa dirawat gratis selama lima hari.

”Kalau saya punya uang, saya lebih pilih bawa ibu ke rumah sakit lain daripada waswas,” ungkap pedagang kecil itu.

Kekhawatiran yang sama diungkapkan Ida (20), warga Rawa Laut. Mahasiswi Universitas Lampung yang rajin mengikuti pemberitaan di media massa itu geregetan dengan layanan RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo pasca-pembuangan pasien. ”Kalaupun gratis, saya tidak mau bawa keluarga ke situ,” ucapnya seraya berdoa agar keluarganya sehat selalu.

Menurut Ida, pasien yang punya keluarga dan biaya pasti tak ingin keluarganya dirawat di sana. ”Masalahnya, warga miskin tak punya pilihan sehingga datang ke RSUD itu,” katanya.

Pasien gelandangan

Kasus yang memprihatinkan ini bermula saat warga menemukan Suparman yang di tangannya ada bekas suntikan jarum infus dan sejumlah perban yang masih menempel.

Saat Suparman diturunkan dari mobil, warga yang melihat kebetulan mencatat jenis mobil dan nomor polisinya, yaitu Suzuki APV warna perak bernomor polisi BE 2472AZ. Belakangan, diketahui mobil itu milik Pemkot Lampung yang statusnya dikuasai Dinas Kesehatan Bandar Lampung, tetapi diperuntukkan bagi operasional RSUD Dr A Dadi Tjokorodipo.

Warga yang menemukan Suparman dalam kondisi sakit parah itu kemudian melapor ke perangkat desa. Suparman sempat dibawa ke RSUD Dr A Dadi Tjokorodipo lagi oleh Camat Tanjungkarang Barat Nurzuraidawati dan stafnya. Namun, dari RSUD itu Suparman dirujuk ke RSUD Abdul Moeloek. Di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Lampung itu, Suparman tak tertolong.

Kematian Suparman menggegerkan Lampung. Buntutnya, polisi menahan dua pejabat RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo setelah diperiksa 13 jam dengan tuduhan menjadi penggagas pembuangan Suparman. Bahkan, Direktur Utama RSUD itu dinonaktifkan oleh Wali Kota Bandar Lampung Herman HN.

Meski sebagian warga mengaku khawatir dengan layanan RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo, suasana rumah sakit, Senin lalu, cukup ramai. Dari 86 kamar perawatan, hanya lima kamar yang kosong. Salah seorang pasien di RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo adalah seorang pasien gangguan jiwa yang tak punya identitas lengkap bernama Amanah (60).

Menurut Eko (35), salah seorang penunggu pasien lain di ruang E2, tempat Amanah dirawat, sejauh ini RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo sudah tak membedakan pasiennya. ”Sejak kasus Suparman, perawat kelihatannya baik-baik. Setiap pagi dan sore mereka mengganti diaper ibu Amanah,” ujarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com