Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/04/2014, 15:59 WIB


KOMPAS.com -
Terungkapnya kasus paedofilia, pertengahan April lalu, di Jakarta International School, Jakarta Selatan, menunjukkan lengahnya perlindungan bagi anak bangsa. Meski paedofilia bukan hal baru dan sering terjadi di Indonesia, negara selalu lupa berbenah. Akibatnya, paedofil terus memakan korban.

Prevalensi orang dengan gangguan paedofilia di Eropa dan Amerika mencapai 1-3 persen dari seluruh populasi,” kata Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Dinastuti, di Jakarta, Jumat (25/4). Dengan asumsi prevalensi sama dan jumlah penduduk 250 juta, ada 2,5-7,5 juta paedofil di Indonesia.

Asosiasi Psikiatri Amerika (APA, 2000) mendefinisikan paedofilia sebagai minat seksual yang menetap, kuat, dan berulang terhadap anak pra pubertas, berumur kurang dari 13 tahun. Minat itu muncul intensif minimal enam bulan dalam bentuk pikiran, fantasi, dorongan, gairah, atau aktivitas seksual.

Jika minat itu tak tersalurkan, mereka akan stres, tertekan, dan mengalami berbagai kesulitan interpersonal yang membuatnya sulit bersosialisasi dan mengendalikan emosi.

Psikiater Konsultan di RSUD Dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya Nalini Muhdi menambahkan, paedofil minimal berusia 16 tahun dan beda umur dengan korbannya minimal 5 tahun.

Ciri paedofil adalah jika korbannya dipaksa atau tak mampu membuat keputusan karena usia belum matang. ”Remaja yang melakukan aktivitas seksual atas dasar saling suka tak disebut paedofilia,” ujarnya.

Anak jadi sasaran seksual karena seorang paedofil akan cemas, takut, kurang percaya diri, dan tak nyaman berinteraksi atau beraktivitas seksual dengan orang dewasa. Anak dipilih karena mereka biasanya lemah, tak berdaya, penurut, dan mudah dibujuk atau diancam.

Gangguan paedofilia mulai terdeteksi saat seseorang menginjak remaja. Namun, manifestasinya bisa muncul saat mereka dewasa, bahkan lansia. Tergantung faktor pemicunya.

Walau tertarik kepada anak, sebagian besar paedofil juga tertarik secara seksual kepada orang dewasa (paedofil non-eksklusif). Sebagian besar paedofil adalah laki-laki, tetapi perempuan juga bisa jadi paedofil. Manifestasi perilaku paedofil perempuan beragam, bisa dalam bentuk membantu paedofil laki-laki melakukan kekerasan seksual hingga menganiaya korban untuk mendapat kepuasan seksual.

Luh Ketut Suryani dan Cokorda Bagus Jaya Lesmana dalam Pedofil Penghancur Masa Depan Anak (2009) menyebut sasaran paedofil beragam, mulai anak yang matang fisiknya (teleiofilia), anak berumur kurang dari 5 tahun (infantofilia), atau anak di awal masa pubertas (hebofilia/hebefilia).

Penyebab

Paedofilia bisa dipicu banyak hal. Semasa kanak-kanak, ketertarikan seksual bisa muncul dan termanifestasikan saat bermain. Itu normal. Namun, jika dihayati anak sebagai pengalaman berarti dan berulang hingga remaja, maka gangguan paedofilia bisa muncul karena anak tak bisa memindahkan ketertarikannya kepada orang dewasa.

”Orangtua dan pengasuh berperan besar mengarahkan dan menjelaskan permainan itu agar tak berlebihan dan tak berulang,” tutur Dinastuti.

Pelaku kekerasan seksual terhadap anak, termasuk paedofil, cenderung pernah mengalami kekerasan seksual saat kanak-kanak. Namun, kecenderungan itu tak berlaku semua. Bukan sebab akibat.

Pengalaman kekerasan seksual semasa kanak-kanak itu bisa muncul saat dewasa atau lansia hingga mencari anak untuk melakukan aktivitas seksualnya. Pemicunya, tulis Suryani dan Lesmana, bisa karena penderitaan atau penghinaan dari pasangan atau kegagalannya dalam menjalankan fungsi di masyarakat, pekerjaan, atau keluarga.

Paedofilia juga bisa dipicu abnormalitas otak sehingga muncul gangguan perkembangan saraf dan mekanisme kerja otak. Abnormalitas otak bisa disebabkan gangguan otak anak sejak di kandungan, cedera kepala, atau tumor otak. Namun, gangguan itu tak selalu dapat diperiksa.

Dinastuti mengatakan, paedofil biasanya berhati-hati dalam beraktivitas. Sebab, secara universal, dorongan seksual terhadap anak adalah terlarang dan tabu. Internet jadi alat efektif untuk mencari informasi, gambar, atau video calon korban.

Setelah target didapat, mereka dengan sabar menjalin relasi pertemanan, banyak memuji, dan memberi hadiah. Setelah rasa percaya korban kepada pelaku terbangun, anak akan diminta pelaku melakukan aktivitas seksual secara bertahap, mulai dari sentuhan, membuka baju, sampai aktivitas seksual sesungguhnya, seperti seks oral, anal, ataupun vaginal.

Pelaku biasa mencari calon korban di lingkungan rumah atau tempat anak beraktivitas karena kemudahan mencari korban dan minimnya pengawasan. Mereka bisa ada mulai di rumah, sekolah, jalanan, hingga komunitas keagamaan.
Terapi

Menurut Nalini, paedofil adalah istilah psikiatri, bukan hukum. Paedofil tak dapat dihukum jika mereka tak merugikan orang lain. Oleh karena itu, paedofil harus diterapi agar gangguannya bisa diatasi dan dipulihkan. Dengan demikian, saat dorongan seksualnya muncul, bisa dikendalikan atau disalurkan dengan cara positif yang tak merugikan orang lain.

Untuk memastikan seseorang mengalami paedofilia, kata Dinastuti, mereka perlu menjalani pemeriksaan psikologis komprehensif lebih dulu. Tak bisa langsung dituduh paedofil.

Jika sudah dipastikan paedofil, tambah Nalini, penyebabnya perlu dipastikan dulu. Faktor biologis pemicunya, seperti gangguan neurologis, hormon, atau kromosom, harus dituntaskan. ”Bila faktor biologis sudah tidak ada, baru psikoterapi,” katanya.

Keberhasilan terapi ditentukan banyak hal. Makin muda usia paedofil saat diterapi, tingkat keberhasilannya kian tinggi. Pengalaman kekerasan seksual di masa kecil akan mempersulit terapi. Motivasi sang paedofil untuk berubah juga penting.

”Dukungan sosial orangtua dan lingkungan berperan besar,” ujarnya. Oleh karena itu, orangtua tak perlu malu melaporkan pelaku kekerasan seksual atas anaknya. Keberanian itu bisa mempermudah terapi anak dan memutus rantai kekerasan seksual kepada anak.

Negara juga perlu lebih peduli, tak bisa terus mengabaikan kekerasan seksual terhadap anak karena itu kejahatan kemanusiaan yang keji dan merusak masa depan anak. Negara tak boleh menyalahkan korban, tetapi justru memfasilitasi korban dan keluarganya agar tak malu melaporkan kekerasan yang dialami dan memberi terapi kepada mereka.

”Pembiaran paedofilia mengancam ketahanan bangsa,” kata Nalini. (KOMPAS/M Zaid Wahyudi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com