Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/08/2014, 14:18 WIB

KOMPAS.com-  Ganas. Mematikan. Demikian penyakit infeksi ebola dikenal. Sejak ditemukan tahun 1976, hingga kini belum ada obatnya. Fakta baru demi fakta baru kian menciutkan nyali. Pola penyebaran belum bisa dikenali karena penyebaran terkesan acak. Ada beberapa saran mencegah penularan dan penyebarannya, tetapi berselimut ketidakpastian.

Hingga Kamis (31/7), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, jumlah penderita ebola yang meninggal mencapai 729 orang. Itu dalam kurun Maret-Juli 2014.

Persentase kematian akibat wabah ebola yang terjadi di negara-negara seperti Sierra Leone, Liberia, Guinea, dan Nigeria mencapai 55 persen. Jumlah penderita terinfeksi mencapai lebih dari 1.300 orang sejak awal tahun ini. Salah satunya menimpa dokter di Sierra Leone yang memimpin perawatan penderita ebola, Umar Khan. Umar Khan pun dinyatakan sebagai ”pahlawan nasional” oleh Presiden Ernest Bai Koroma.

Ditemukan tahun 1976, virus ebola sudah memakan korban 280 orang, pada waktu itu saja. Virus yang tak dikenal ini pertama kali diidentifikasi ahli medis Peter Piot saat seorang suster di Zaire, sekarang Kongo, meninggal akibat terinfeksi virus tersebut.

Dari sampel darah yang diperiksa di laboratorium di Antwerpen, Kanada, Piot menemukan keberadaan virus baru.

Piot kemudian menamai virus baru tersebut dengan nama sungai, Ebola, yang mengalir di dekat Desa Yambuku tempat wabah terjadi. ”Orang ketakutan karena di beberapa desa, satu dari 10, bahkan satu dari delapan orang meninggal akibat ebola,” kenang Piot.

Dari penelitian waktu itu, ebola banyak menyerang perempuan berusia 20-30 tahun. Mereka berobat ke klinik ibu hamil. Penularan diduga dari penggunaan bersama jarum suntik. Ebola lalu menyebar ke timur, ke Uganda dan Sudan.

Adapun wabah tahun ini tak pernah diduga sebelumnya, karena berawal di Guinea yang belum pernah ditemukan kasus infeksi.

Gejala dan ancaman

Infeksi ebola dikategorikan amat berbahaya. Diagnosanya pun cukup sulit. Gejalanya mirip dengan penyakit infeksi pada umumnya.

Gejala infeksi ebola didahului dengan demam, badan melemah, otot kejang, dan tenggorokan sakit. Selanjutnya, seperti diuraikan WHO, penderita akan muntah-muntah, diare, dan pada beberapa kasus terjadi pendarahan dalam dan luar.

Di sisi lain, kondisi penderita amat cepat menjadi parah. Kalaupun dinyatakan sembuh, selama tujuh pekan kemudian masih berpotensi menularkan. Hingga saat ini, ebola baru ditemukan di Afrika meski ada strain lain yang ditemukan di Filipina.

Mudah menular

Penyakit infeksi ebola, seperti infeksi lainnya, mudah menular. Penyakit ini bisa menular melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, di antaranya kelelawar, simpanse, dan antelop (sejenis rusa).

Penularan antarsesama manusia bisa melalui kontak langsung dengan darah yang terinfeksi, cairan tubuh atau organ tubuh, atau melalui lingkungan yang tercemar, misalnya handuk di tempat publik.

Namun, Piot sebagai penemu virus ebola berpendapat lain. Wabah di Afrika Barat ini dinilainya tidak akan memicu wabah di luar kawasan. Kepada kantor berita AFP, Rabu (30/7), ia mengatakan, ”Meski meluas di populasi yang besar di sini, saya tidak khawatir (ini menyebar).” Dia bahkan menyatakan berani duduk di samping penderita infeksi ebola.

Menurut dia, kepanikan yang muncul saat ini akibat dari tidak adanya kepercayaan masyarakat pada pihak yang berwenang.

Pengabaian

Mengapa ebola menjadi demikian menakutkan seakan tak tersembuhkan? Menurut Guru Besar Virus dan Biologi Molekular Universitas Udayana, Bali, Gusti Ngurah Mahardika, ”Penyakit flu burung, rabies, HIV/AIDS juga mematikan. Ebola tidak sendirian.”

Persoalan terletak pada pengabaian. Penelitian tentang penyakit itu amat minim. ”Penyakit ini terjadi di negara berkembang sehingga cenderung tidak mendapat perhatian dari peneliti-peneliti Eropa atau AS. Ini dicuekin. Risetnya tidak cukup gencar dilakukan,” ujar Ngurah.

Selain itu, tambahnya, mencari hewan model untuk kondisi manusia itu sulit. ”Penyakit itu di manusia terjadi dengan hebatnya, sementara pada hewan tidak demikian parah,” katanya.

Selain itu, faktor ekonomi juga memengaruhi. ”Ekonomi di negara berkembang terbatas,” katanya lagi.

Seperti dikatakan Piot, Ngurah menambahkan, sudah ada sejumlah vaksin dihasilkan untuk mengobati ebola. ”Setidaknya, sudah mencegah kera mati. Namun, sistem yang mengatur percobaan pada manusia amat ketat,” kata Ngurah.

Meski demikian, Ngurah berpendapat, ”Apa pun teknologi yang ada, meski tidak sempurna, pasti bisa mengurangi tingkat kematian. Mestinya ini bisa tersedia untuk publik. Biayanya memang jadi amat mahal,” ujarnya. Jadi, sebenarnya jalan penyembuhan sudah dirintis. (KOMPAS/Brigitta Isworo Laksmi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com