Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/08/2014, 14:35 WIB

Pencarian bahan dasar virus itu butuh waktu lama. Kesulitan terbesar adalah virus dengue memiliki empat jenis serotipe virus, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Serotipe yang ada di satu negara bisa beda dengan di negara lain.

Tedjo Sasmono dkk dalam Identifikasi Genotipe dan Karakterisasi Genome Virus Dengue di Indonesia untuk Penentuan Prototipe Virus Bahan Pembuatan Vaksin Dengue Berbasis Strain Indonesia dalam Prosiding Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional 2012 menyebut, semua serotipe itu ada di Indonesia.

Namun, serotipe dominan di setiap kota berbeda. Di Jakarta dan Surabaya, empat serotipe itu ditemukan. Di Medan, ada DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Akan tetapi, di Samarinda, hanya ada DENV-4 dan di Banjarmasin hanya DENV-1.

Triwibowo Ambar Garjito dalam Vaksin Dengue dan Perkembangannya Saat Ini dan di Masa Mendatang di Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 4 Tahun 2007 menyebut, vaksin harus bersifat tetravalen. Artinya, mampu simultan menimbulkan imunitas level tinggi dan jangka panjang pada 4 serotipe virus sekaligus.

Hal itu karena orang yang sudah terinfeksi virus dengue serotipe tertentu dan membentuk antibodi pasif jika ia terkena infeksi virus dengue dari serotipe berbeda, keganasan infeksinya akan naik.

Hambatan lain pengembangan vaksin dengue adalah tak ada hewan uji yang bisa dipakai untuk mengevaluasi kandidat vaksin dalam organisme hidup. Akibatnya, pemantauan perkembangan dan evaluasi kandidat vaksin berjalan lambat.

Vaksin CYD-TDV itu masuk uji klinik tahap ketiga. Studi yang dilakukan di Indonesia (Jakarta, Bandung, dan Denpasar), Malaysia, Filipina, Thailand, serta Vietnam itu dipublikasikan di The Lancet, 11 Juli 2014. Hasilnya, tingkat efikasi vaksin 56,5 persen. Vaksin juga menurunkan 88,5 persen kasus DBD dan 67 persen risiko rawat inap.

”Tak ada efek samping selama proses uji, bahkan pada ibu hamil dan janin,” kata pimpinan studi Maria Rosario Capeding dari Lembaga Penelitian Kedokteran Tropis Filipina kepada Kompas di Angeles City, Filipina, Juni lalu. Sejumlah uji klinik akan dilakukan untuk meningkatkan efikasi vaksin, khususnya di daerah endemik dengue.

Vaksin itu ditargetkan bisa dipasarkan pada 2016. Hal itu mendukung target WHO pada 2020 untuk menekan angka kematian akibat dengue 50 persen dan menurunkan 25 persen angka kesakitan akibat dengue.


Buatan Indonesia

Tak mau tertinggal dengan peneliti dari negara lain, ilmuwan Indonesia yang tergabung dalam Konsorsium Vaksin Dengue, kini, mengerjakan pembuatan vaksin dengue secara mandiri. Para ahli itu berasal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dari perguruan tinggi, yang tergabung adalah Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Institut Pertanian Bogor. Biofarma, satu-satunya perusahaan vaksin nasional, yang ikut dalam konsorsium itu.

Peneliti utama sekaligus Manajer Integrasi Proyek Divisi Riset Biofarma Neni Nurainy mengatakan, kini konsorsium dalam tahap riset dasar untuk mencari bahan baku vaksin. Artinya, butuh 15-20 tahun lagi agar vaksin buatan dalam negeri itu bisa dipasarkan.

Meski tertinggal jauh dengan vaksin dengue buatan Sanofi Pasteur, Neni dan peneliti lain yakin vaksin buatan mereka bisa bersaing karena memakai pendekatan dan teknologi berbeda. Vaksin dibuat berbasis kondisi virus dan sosial budaya Indonesia. ”Vaksin akan lebih aman karena dibuat bebas dari bahan bersumber binatang lain dan dijamin kehalalannya,” ujarnya.

Karena bebas dari hewan lain sebagai bahan bakunya, vaksin bisa dibuat dari rekombinan protein virus atau berbahan baku DNA virus. Meski belum dipastikan bahannya, para peneliti menargetkan tingkat efikasi vaksin lebih dari 80 persen.

Afiono menambahkan, tak ada vaksin yang punya efikasi hingga 100 persen. Jadi, tak ada vaksin yang bisa melindungi seseorang dari penyakit 100 persen. Vaksinasi hanya akan mengurangi risiko seseorang terinfeksi penyakit atau mengurangi tingkat keparahan penyakit.

Keberhasilan vaksin juga ditentukan kondisi bibit penyakit. Semakin banyak bibit penyakit mutasi saat diuji, tingkat efikasi vaksin akan turun. Setiap individu punya kondisi genetik berbeda yang memengaruhi sistem kekebalan tubuh. (M.Zaid Wahyudi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com