Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/08/2014, 14:35 WIB

KOMPAS.com - Hujan lokal di sejumlah daerah yang terjadi pada musim kemarau ini membuat genangan air gampang terbentuk dan nyamuk mudah berkembang biak. Akibatnya, selama Juni-Agustus ini, sejumlah kasus demam dengue dan demam berdarah dengue bermunculan di beberapa tempat. Meski demikian, penyakit yang disebabkan virus dengue itu belum ada obat dan vaksinnya hingga kini.

Infeksi virus dengue tercatat sudah ada di Indonesia sejak abad ke-18. Ketika itu, penyakit ini disebut demam lima hari (vijfdaagse koorts) karena demam korban akan hilang dalam lima hari ataupun demam sendi (knokkel koorts) karena demam muncul disertai nyeri sendi, otot, dan kepala. Pada masa itu, infeksi dengue hanya penyakit ringan yang tak mematikan.

Sejak 1952, infeksi virus dengue dengan manifestasi klinis berat yang disebut demam berdarah dengue (DBD) ditemukan di Manila, Filipina. Dalam waktu singkat, DBD menyebar ke sejumlah negara, mulai dari India hingga kawasan Indochina. Pada 1968, kematian tinggi akibat DBD ditemukan di Surabaya, Jawa Timur, dan Jakarta.

Kini, DBD sudah ditemukan di seluruh Indonesia. Sebanyak 200 kota tercatat pernah melaporkan kasus luar biasa DBD. Dalam waktu 30 tahun, angka kejadian DBD di Indonesia telah melonjak dari 0,005 per 100.000 penduduk menjadi 6-27 persen per 100.000 penduduk atau naik 1.200-5.400 kali.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi, perkembangan kota tak terencana, hingga kurangnya kontrol pada vektor nyamuk di daerah endemis membuat virus dengue mudah menyebar. Kemajuan transportasi kian membuat nyamuk Aedes aegypti dan virus dengue pindah lebih jauh.

Hingga kini, virus dengue tersebar ke lebih dari 100 negara. Pemanasan global membuat penyakit itu menyebar kian luas.

Sebanyak 2,5 miliar penduduk Bumi di daerah tropis dan subtropis terancam, 75 persen di antaranya ada di Asia Pasifik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, 390 juta orang terinfeksi virus dengue setiap tahun dan 22.000 orang tewas, sebagian besar di antaranya anak dan remaja.

Vaksin

Lebih dari 60 tahun sejak virus dengue yang ganas ditemukan, hingga kini belum ada obat dan vaksin untuk mengatasi demam dengue dan DBD. Karena itu, pengendalian perkembangan nyamuk Aedes aegypti adalah kunci pencegahan.

Pencegahan perkembangan nyamuk adalah upaya kesehatan berbasis masyarakat yang menuntut komitmen kuat dan luas masyarakat. Meski lingkungan sekitar rumah sudah terbebas dari sarang nyamuk, siapa pun masih bisa digigit nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus dengue di tempat kerja, sekolah, mal, hingga di perjalanan.

Karena itu, pencegahan bersifat individu dengan pemberian vaksin diperlukan. Vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan sehingga sifat menyebabkan penyakitnya tak ada.

Pemberian vaksin untuk mengenalkan identitas penyakit tertentu pada tubuh sehingga tubuh membentuk pertahanan adaptif dan spesifik pada bibit penyakit itu. Dengan demikian, saat bibit penyakit sesungguhnya atau yang belum dilemahkan datang, tubuh bisa langsung mengenalinya dan membentuk kekebalan adaptif dan spesifik.

”Tanpa vaksin, tubuh butuh 1-2 minggu membentuk kekebalan spesifik untuk melawan bibit penyakit,” kata ahli virologi, yang juga Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Afiono Agung Prasetyo, di Jakarta, Senin (18/8).

Dalam rentang 1-2 minggu itu, bibit penyakit bisa masuk ke berbagai organ tubuh sehingga dampaknya lebih membahayakan. Sejumlah peneliti serta industri dalam dan luar negeri meneliti vaksin dengue. Salah satu kandidat vaksin yang menjanjikan adalah Chimeric Yellow Fever 17D-Tetravalent Dengue Vaccine (CYD-TDV) yang digagas perusahaan farmasi Perancis, Sanofi Pasteur, bersama Universitas Mahidol, Thailand, sejak 1994.

Bahan dasar CYD-TDV adalah virus chimera, virus rekombinasi yang dibuat dengan menyubstitusikan protein virus pada virus lain. Pada CYD-TDV, bagian imunogenik virus dengue hidup yang dilemahkan digabungkan dengan bagian nonstruktural dan kapsid (selubung protein) virus yellow fever.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com