Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Jembatan Kematian", Sisi Gelap Paradoks Sebuah Negara Sejahtera

Kompas.com - 01/10/2014, 19:02 WIB
Budi Suwarna,
Hamzirwan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kemajuan ekonomi Korea Selatan memunculkan paradoks. Warga kian sejahtera, tetapi tidak sedikit yang nelangsa lantaran tekanan hidup kian mendera. Ribuan orang yang tak kuasa menahan beban kehidupan memilih jalan pintas. Mereka bunuh diri di ”jembatan kematian”.

Di sebuah kafe, Minho mencurahkan isi hati. Suasana yang temaram seolah menggambarkan hatinya yang galau. Laki-laki lajang berusia 29 tahun itu mengaku sedang tak punya pekerjaan tetap.

”Karena itu, saya berusaha hemat. Minuman yang sebotolnya berharga 2.000 won (Rp 20.000) pun buat saya terasa mahal sekali,” keluhnya sambil menunjukkan sebotol jus buah yang baru saja dia beli dengan kartu kredit milik orangtuanya.

”Hidup di Korsel semakin hari semakin mahal. Kami bekerja mati-matian hanya untuk membayar utang. Begitu terus, sampai kami menua,” katanya sambil menghela napas. (Baca: Ketika Para Lajang Hadapi Paradoks Kartu Kredit, Nongkrong, dan Biro Jodoh)

Jangankan bagi penganggur, buat orang yang memiliki pekerjaan tetap pun hidup terasa berat. Minho bercerita, ketika dia masih bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji 3 juta won, sekitar Rp 30 juta, per bulan, uang itu selalu habis untuk membayar tagihan kartu kredit. (Baca: Punya Apartemen, Ibarat Pungguk Merindukan Bulan)

Seoul memang menawarkan banyak kesempatan bagi anak-anak muda untuk mencari uang. Fasilitas penunjang kehidupan yang nyaman juga bertebaran di mana-mana, di antaranya jalan nan mulus, transportasi publik yang baik, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bagus. Namun, kompetisi untuk hidup di Seoul juga amat ketat.

Anak sekolah menghadapi tekanan beban pelajaran yang tinggi. Mereka bersekolah mulai pukul 08.20 dan pulang pukul 19.30. Setelah itu, mereka masih harus mengikuti les tambahan ini-itu.

Anak muda harus berjibaku untuk mendapatkan karier yang bagus, orang yang menikah harus kerja ekstra keras untuk menutup biaya hidup sehari-hari. Sebagian besar dari mereka bisa mengatasi tekanan itu, sebagian lagi tidak.

Mereka yang merasa tersisih dalam persaingan lantas memilih jalan bunuh diri. Kim Young-ha, penulis Korsel, dalam artikelnya di The New York Times, 2 April 2014, mencatat, angka bunuh diri meningkat di Korsel setelah krisis keuangan 1997.

Setelah itu, kasus bunuh diri kian memburuk. Pada 2012, ada 14.160 orang yang bunuh diri atau 39 orang per hari. Angka ini melonjak 219 persen dibandingkan dengan kasus serupa tahun 2000, yakni 6.444 kasus.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2012 juga memperlihatkan tingginya angka bunuh diri di Korsel, yaitu 28,9 orang dari setiap 100.000 penduduk. Angka ini menempatkan Korsel sebagai negara ketiga dengan angka bunuh diri tertinggi setelah Guyana dan Korea Utara.

Pelaku bunuh diri di Korsel mulai dari anak sekolah hingga pensiunan, dari orang biasa, selebritas frustrasi, hingga mantan presiden yang terlilit kasus korupsi. Sebagian dari mereka bunuh diri dengan cara terjun dari Jembatan Mapo yang membentang di atas Sungai Han, Seoul.

Saking seringnya jembatan itu digunakan sebagai lokasi bunuh diri, Mapo mendapat julukan seram, yakni ”jembatan kematian”. Fenomena bunuh diri kini menjadi perhatian Pemerintah Korsel.

Pemerintah membuat berbagai program untuk menurunkan angka bunuh diri, termasuk menyematkan citra baru terhadap Jembatan Mapo dari ”jembatan kematian” menjadi ”jembatan kehidupan”.

Meski begitu, usaha itu belum menuai hasil maksimal. Di Jembatan Mapo tetap saja ada orang yang mengakhiri hidup. Begitulah, jembatan beton nan kokoh tersebut ”ditakdirkan” menjadi saksi dari sisi rapuh masyarakat Korsel.

CATATAN:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari tulisan utuh di Harian Kompas edisi Rabu (1/10/2014) berjudul "Sisi Nestapa Sebuah Negara Sejahtera" karya Budi Suwarna dan Hamzirwan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com