Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2014, 07:05 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

Pada hari kesehatan jiwa sedunia yang jatuh pada 10 Oktober, tahun ini tema yang diangkat adalah "Living with Schizophrenia" yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian pentingnya terapi dini. Masyarakat juga diajak untuk memberi dukungan dan menerima ODS kembali aktif di tengah masyarakat.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang skizofrenia, PDSKJI, Komunitas Peduli Skizofrenia dan Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia, mengadakan kampanye Lighting the Hope with Schizophrenia.

Menurut Dr.A.A. Ayu Agung Kusumawardhani, Sp.KJ(K), skizofrenia sebenarnya bisa diobati tapi lebih banyak yang tidak terdignosa. "Gangguannya bersumber di otak, tapi banyak pasien skizofrenia yang dianggap kena guna-guna, kutukan, atau santet," katanya dalam acara pembukaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2014 beberapa waktu lalu.

Pemahaman yang keliru ini membuat pasien sering terlambat dibawa ke dokter. Ironisnya, pasien bukannya pulih malah tambah sakit.

"Kalau tidak diobati dini, penyakitnya akan berdampak panjang karena problem di otak lebih berat," ujar dokter yang menjadi Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) ini.

Siti Anisah (42) beruntung karena sejak awal ia menunjukkan gejala-gejala skizofrenia di tahun 1992, keluarganya langsung membawanya ke dokter. Ketika itu ia masih kuliah semester 3 di Universitas Andalas, Padang.

"Di semester 3 itu saya stres berat karena punya target lulus cum laude. Tapi akibatnya saya malah stres dan menolak ujian karena takut nilainya jelek. Saya hanya mengurung diri di kamar berhari-hari dan takut ke kampus," kata wanita yang sekarang tinggal di Bekasi ini.

Keluarganya yang tinggal di Jakarta lalu menyuruhnya kembali ke Jakarta dan berobat ke psikiater. "Saat itu saya sudah mengalami halusinasi, setiap melihat orang seolah-olah giginya bertaring. Saya juga sering mendengar suara-suara," ujarnya.

Oleh psikiater di Jakarta ia lalu diberi resep obat-obatan. Namun karena tidak paham pentingnya pengobatan tersebut, obat itu tak diminumnya. Akibatnya, penyakitnya kambuh dan lebih buruk dari sebelumnya.

"Saya jadi paranoid dengan lingkungan. Tak berani ke mana-mana karena merasa ada orang yang mau membunuh saya," kata ibu satu anak ini.

Keluarganya lalu memasukannya ke rumah sakit jiwa di Yogyakarta. Keluar dari sana, ia patuh mengonsumsi obat yang diberikan dokter sehingga bisa beraktivitas di tengah masyarakat. Ia pernah menjajal profesi sebagai tim sales asuransi dan tenaga administrasi.

Siti kini aktif mengajar di beberapa tempat les bimbingan belajar. Ia juga berencana untuk membuka usaha sendiri. "Saya sedang mengumpulkan biaya untuk kuliah anak saya," katanya.

Terapi

Meski belum ada terapi yang bisa menyembuhkan skizofrenia, tapi kekambuhan penyakit ini dapat dicegah dan dikendalikan. Apalagi jika dilakukan saat penyakit ini masih pada tahap awal seperti yang dialami Siti.

Terapi skizofrenia biasanya merupakan kombinasi antara pengobatan dan psikoterapi. Pengobatan untuk menurunkan gejala, dan psikoterapi akan membantu pasien memahami dan menerima penyakitnya. "Dengan begitu mereka jadi paham mengapa harus minum obat terus," kata Ratih Ibrahim, psikolog klinis dalam acara yang sama.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com