Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/11/2014, 14:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Data Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan, orang dengan diabetes berisiko tuberkulosis 2-3 kali lipat daripada nonpenderita. Bahkan, diabetes juga bisa memicu kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat. Untuk itu, pemeriksaan tuberkulosis perlu dipadukan dengan pemeriksaan diabetes.

Data itu muncul pada Seminar Nasional Penatalaksanaan TB Terkini di Jakarta, Sabtu (8/11). ”Kini, 30 persen penduduk dunia laten tuberkulosis (TB),” kata Dyah Erti Mustikawati, Kepala Subdirektorat Pengendalian Diabetes Melitus, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, pada paparan ”Ancaman Beban Epidemi Mendatang di Indonesia: Tuberkulosis-Diabetes Melitus (TB-DM)”. Seminar diadakan Phapros.

Laten TB berarti seseorang terpapar kuman TB, tetapi tidak menunjukkan gejala penyakit itu. Jika mereka juga menderita diabetes, kuman dorman (tidur) di tubuh penderita bisa aktif dan memunculkan TB.

Dokter Spesialis Paru-paru Konsultan Infeksi pada RS Persahabatan, Erlina Burhan, menjelaskan, penderita diabetes lebih rentan terkena TB karena penurunan daya tahan tubuh. Kemampuan sel-sel pertahanan tubuh membunuh kuman turun.

Pada sisi lain, penurunan sistem imunitas tubuh juga membuat pengobatan pasien TB yang juga menderita diabetes akan lebih lama. ”Tanpa diabetes, penderita TB yang patuh cukup menjalani pengobatan enam bulan. Jika diabetes, pasien setidaknya harus mengonsumsi obat sembilan bulan,” tutur Erlina.

Menurut Dyah, jika pasien TB juga diabetes, penyakit bisa semakin berat. Sebab, kuman TB dapat resisten (kebal) dari aneka obat (MDR-TB) sehingga penyakit TB dapat kambuh setelah pengobatan. Diabetes yang tak terkontrol membuat penyerapan rifampisin (salah satu obat TB) hanya 50 persen.

”Karena penyerapan tidak optimal, penyakit TB kambuh setelah pasien berobat dan mengarah pada MDR-TB,” ujar Dyah.

Selain penyakit TB yang kambuh akibat ketidakpatuhan pasien menjalani terapi, kasus TB kambuh akibat adanya diabetes tergolong tinggi. Berdasar laporan yang diterima Kemkes, di RS Persahabatan Jakarta, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta, serta RS RSUD Dr Soetomo Surabaya, sekitar 25 persen pasien MDR-TB juga mengidap diabetes.

Pemeriksaan ganda

Keberadaan kasus diabetes pada pengidap TB turut mempersulit upaya menekan angka kejadian TB. Data Global Tuberculosis Report 2014 yang dirilis WHO, jumlah kasus TB di Indonesia tahun lalu diperkirakan 460.000 kejadian.

Itu membuat Indonesia menjadi negara dengan kejadian TB terbanyak kelima di dunia, di bawah India (2,1 juta), Tiongkok (980.000), Nigeria (590.000), dan Pakistan (500.000). Sementara itu, jumlah kematian akibat TB di Indonesia 64.000 jiwa pada 2013, atau turun 4,47 persen dari tahun 2012 sebesar 67.000 jiwa.

Menurut Dyah, untuk menurunkan lebih banyak kejadian TB, diperlukan pemeriksaan ganda. ”Penderita TB perlu menjalani skrining diabetes. Sebaliknya, penderita diabetes juga mendapat skrining TB,” katanya.

Erlina menambahkan, masyarakat juga harus lebih tanggap jika menemukan gejala TB pada diri ataupun orang di sekitar. Jika seseorang batuk lebih dari dua minggu, wajib memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit tanpa perlu menunggu hingga batuk darah.

Penderita diabetes yang positif TB disarankan menggunakan obat diabetes suntik insulin sambil menjalani pengobatan TB. ”Jangan obat diabetes oral. Jenis itu akan berinteraksi dengan rifampisin sehingga menurun efektivitasnya,” ujar Erlina.

Sementara itu, Koordinator Program Promosi Kualitas Obat Indonesia USAID Christopher Raymond menekankan pada kualitas obat TB, terutama obat dengan kombinasi dosis tetap (FDC). Tanpa dosis dan paduan tepat, obat FDC tidak akan menyembuhkan, tetapi justru dapat memicu MDR-TB. (JOG)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com