Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/12/2014, 15:40 WIB

Oleh: ADHITYA RAMADHAN

KOMPAS.com - Menanggulangi epidemi HIV ibarat berkejaran dalam lingkaran yang tak kunjung putus. Intervensi di satu populasi kunci mungkin akan memberikan hasil positif. Akan tetapi, kemudian pola infeksi meningkat di populasi kunci yang lain. Begitu seterusnya. Ibarat sepak bola, diperlukan upaya yang total football dalam menanggulangi epidemi virus tersebut.

Menurut Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh, epidemi human immunodeficiency virus (HIV) di kawasan Asia Tenggara terkonsentrasi pada populasi paling rentan terhadap penularan HIV, yaitu lelaki suka lelaki (LSL), transjender, pengguna narkoba suntik (penasun), penjual seks, orang yang di penjara, dan kelompok lain. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan pada populasi rentan, lebih kurang separuh dari mereka tetap belum mengetahui status HIV mereka.

Hampir 5 juta orang hidup dengan HIV di Asia Pasifik pada 2013 atau seperenam beban global. Beban itu merupakan yang terbesar setelah kawasan sub-Sahara Afrika dengan jumlah kasus infeksi baru pada 2013 mencapai 350.000 orang.

Di Indonesia, sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 hingga September 2014, HIV/AIDS tersebar di 386 dari total 498 kabupaten/kota di semua provinsi di Indonesia. HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali dan yang terakhir melaporkan adalah Sulawesi Barat pada 2011.

Bagi Indonesia, ke depan, ancaman penularan virus HIV pada ibu hamil dan bayi masih tinggi seiring pertambahan jumlah laki-laki berisiko tinggi yang membeli seks, LSL, dan penasun. Karena itu, perlu terobosan intervensi untuk menekan laju penularan HIV.

Dulu, ketika infeksi HIV umumnya berasal dari penggunaan jarum suntik tak steril di kalangan pengguna narkoba, intervensi dilakukan dengan menyediakan alat suntik steril dan terapi rumatan metadon. Prevalensi HIV di kalangan penasun berkurang atau setidaknya tertahan.
Perilaku seksual

Namun, perilaku seksual berisiko tetap menjadi cara infeksi virus yang berpotensi menyebabkan bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi. Perilaku seksual jadi faktor risiko terbesar dalam penyebaran HIV (57 persen), di atas penasun (15 persen), LSL (4 persen), dan ibu terhadap anaknya (3 persen).

Data Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) 2007 menunjukkan, prevalensi laki-laki berisiko tinggi pembeli seks 0,1 persen. Angka itu naik menjadi 0,7 persen pada 2011. Prevalensi LSL juga naik dari 5,3 persen (2007) jadi 12,4 persen (2011).

Bahkan, di beberapa daerah baru yang sebelumnya tak dihitung dalam STBP, prevalensi LSL naik dari 7 persen (2009) menjadi 12,8 persen (2013).

Direktur Eksekutif Asia Pacific Coalition on Male Sexual Health (APCOM) Midnight Poonkasewattana mengatakan, sembilan dari 10 kasus HIV baru di Manila terkait LSL. Satu dari tiga LSL di Bangkok positif HIV. Mayoritas kasus baru HIV di Tiongkok adalah LSL.

Situasi itu menempatkan anak muda sebagai kelompok yang rentan tertular HIV. Hal ini terjadi di banyak tempat. Namun, tak banyak investasi yang dilakukan negara untuk menanggulangi hal itu. LSL terus saja mendapat stigma.

APCOM selama ini mengalokasikan sumber daya serta melakukan penelitian dan pendekatan berbasis hak dalam penanggulangan HIV, terutama pada LSL.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kemal N Siregar menyebutkan, melalui pemodelan yang menjadi strategi rencana aksi nasional, laju epidemi HIV pada 2010-2014 dapat ditekan, terutama pada penasun, lelaki berisiko rendah, serta penjual dan pembeli seks.

Ibu rumah tangga

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com