Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/03/2015, 16:00 WIB

Oleh: Adhitya Ramadhan

Sambil tersengal-sengal, Sukaesih meminum satu per satu obat yang ada di pangkuannya. Jumlahnya ada 13 butir. Agar tuberkulosis yang dideritanya sembuh, nenek berusia 63 tahun itu harus meminum obat belasan hingga 20 butir setiap hari selama dua tahun tanpa putus. Saat itu, Jumat (20/3), baru dua minggu ia mengonsumsi obat.

 Tiap kali akan minum obat, Sukaesih memejamkan mata. Matanya berkaca-kaca. ”Ya Allah... ya Allah..,” ucapnya tiap kali jeda minum obat. Obat berjumlah 13 butir tersebut akhirnya habis diminumnya. Ia harus kembali esok hari ke rumah sakit untuk minum obat lagi.

”Kalau sudah minum obat, sering sesak dan mual. Itu sebabnya, kadang malas minum obat. Iya kalau satu-dua obat, ini belasan butir obat yang harus diminum,” tutur Dede, keponakan Sukaesih yang mengantar ke rumah sakit.

Menurut Dede, Sukaesih baru berobat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur, selama seminggu. Ia sebelumnya dirawat di RS itu selama satu minggu. Sebelum ke RSUP Persahabatan, warga Kampung Rambutan, Jakarta Timur, tersebut dirawat dan berobat di RS Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Tahun ini, sebenarnya, Sukaesih siap berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Namun, TB yang dideritanya kambuh. Ia pun dirujuk ke poliklinik multi drug resistance (MDR) di RSUP Persahabatan, karena kuman TB yang diderita Sukaesih sudah kebal obat.

Pasien TB MDR lain, Ahmad Taufik, mengaku sudah berobat di RSUP Persahabatan selama sepuluh bulan. Setiap hari, pria berusia 44 tahun itu harus mengonsumsi 15 butir obat.

Ahmad, warga Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur, itu menuturkan, tahun lalu ia menjalani terapi TB selama delapan bulan. Namun, penyakitnya kambuh dan dirujuk pihak puskesmas terdekat ke rumah sakit. ”Saya batuk darah,” ujarnya.

 Sukaesih dan Ahmad ialah dua dari sekian banyak pasien TB yang kebal terhadap obat di Indonesia. Diperkirakan, ada sekitar 6.800 pasien TB MDR di Indonesia. Sebanyak 2 persen kasus TB baru adalah TB MDR dan 12 persen pengobatan ulang TB termasuk TB MDR.

Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama, dalam artikelnya, memaparkan, Indonesia ada di posisi ke-10 TB MDR terbanyak di dunia. Sejauh ini, ada 28 RS yang bisa menangani TB MDR di Indonesia, beserta puluhan sarana kesehatan satelitnya.

Pada kasus TB yang kebal obat, kuman Mycobacterium tuberculosis bermutasi dan kebal terhadap dua obat TB lini pertama yang paling efektif, yakni isoniazid (INH) dan rifampicin. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Arifin Nawas, TB MDR bisa terjadi akibat pengobatan tak adekuat atau pasien TB putus obat.

Putus pengobatan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan standar internasional penanganan TB (International Standard for TB Care/ISTC) dan strategi pemberian obat secara langsung (directly observed treatment short-course/DOTS). Tujuannya, agar penatalaksanaan penyakit TB di semua negara di dunia seragam.

Kenyataannya, hal tersebut belum dilakukan maksimal oleh tenaga medis. Contohnya, pemberian obat tak adekuat sehingga kuman TB kebal terhadap obat. Selain itu, TB MDR terjadi akibat pasien putus pengobatan atau tidak berobat sampai tuntas. ”Angka putus obat pasien TB biasa di RSUP Persahabatan sekitar 58 persen,” ujar Arifin yang juga bertugas di RS itu.

Pasien TB harus menjalani pengobatan selama enam bulan. Setelah dua bulan pertama pengobatan, pasien biasanya merasa sudah sembuh sehingga cenderung berhenti minum obat. Padahal, kuman TB masih tinggal dalam sel tubuh. Akibatnya, kuman menjadi kebal.

Pasien TB MDR harus berobat lebih lama dibandingkan dengan pasien TB biasa. Jika lama pengobatan TB enam bulan, terapi TB MDR berlangsung dua tahun. Obat yang harus diminum tiap hari tanpa putus lebih banyak, mencapai 20 butir. Efek sampingnya antara lain mual, muntah, gangguan pendengaran, dan gangguan mood. ”Efek toksik itu menyebabkan pasien putus obat,” kata dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan, Erlina Burhan.

Tjandra Yoga yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menjelaskan, terapi TB MDR memakai obat anti TB lini kedua. Jadi, harus digunakan empat obat yang efektif selama 18-24 bulan.

Klasifikasi obat anti TB lini kedua terdiri atas lima kelompok berdasarkan potensi dan efikasi. Kelompok obat pertama dipakai karena efektif dan bisa ditoleransi dengan baik, yakni pirazinamid dan etambutol. Kelompok kedua, obat bersifat bakterisidal, yaitu kanamisin atau kapreomisin. Kelompok ketiga, golongan fluorokuinolon bersifat bakterisidal kuat. Kelompok keempat adalah obat bersifat bakteriostatik tinggi, yaitu PAS, ethionamid, dan sikloserin. Kelompok kelima, obat yang belum jelas efikasinya.

Arifin menyatakan, resistensi kuman TB jadi tantangan global. Terlebih, kini muncul TB XDR (Extensively Drug Resistance), kuman TB MDR yang kebal obat kuinolon dan salah satu obat lini kedua. Karena itu, penemuan kasus, terapi tepat, dan kepatuhan pasien jadi kunci.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com