Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/09/2015, 14:45 WIB

KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia regional Asia Tenggara kembali mengingatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara agar segera bertindak mengendalikan ancaman resistensi antimikroba. Jika tak diatasi, berbagai kuman kian kebal obat sehingga penyakit akan sulit diobati.

 

Pesan itu disampaikan Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh kepada para menteri dan pejabat kementerian kesehatan dari 11 negara anggota WHO- SEARO pada pertemuan Komite Regional ke-68 di Dili, Timor Leste, Rabu (9/9).

 

Khetrapal Singh, dalam siaran pers, menyatakan, antibiotik adalah sumber daya yang amat berharga. Jenis obat itu telah menyelamatkan nyawa berjuta orang dari infeksi parah. Setiap orang punya andil dan bisa berperan mempertahankan efektivitas antibiotik.

 

"Kita perlu segera mencegah kemungkinan kembalinya ke era sebelum antibiotik ditemukan. Infeksi ringan dan luka sederhana yang bisa disembuhkan selama beberapa dekade bisa jadi akan membunuh berjuta orang," kata Khetrapal Singh.

 

Kini, banyak antibiotik berkurang efektivitasnya. Akibatnya, pengobatan dan penyembuhan penyakit lebih sulit dilakukan. Hal itu misalnya pneumonia, infeksi kandung kemih, diare, gonore, tuberkulosis, dan malaria.

 

Kuman yang kebal saat ini akibat penggunaan antibiotik yang gegabah oleh tenaga kesehatan, tidak tuntasnya konsumsi obat oleh pasien, penggunaan antibiotik pada hewan ternak dan ikan, serta lemahnya pengendalian infeksi dan kebersihan di fasilitas kesehatan. Pada saat yang sama, tak banyak antibiotik baru yang sama ampuhnya dengan jenis antibiotik yang resisten.

 

Produktivitas turun

 

Apabila resistensi antimikroba tidak dikendalikan, hal itu diperkirakan menyebabkan 10 juta kematian di dunia setiap tahun dan kehilangan produk domestik bruto (PDB) 2 persen-3,5 persen secara global pada tahun 2050. Menurunnya produktivitas karena sakit dan ongkos pengobatan yang semakin tinggi menambah nilai kerugian ekonomi.

 

Oleh karena itu, perlu rencana aksi nasional yang komprehensif dan terintegrasi untuk mengendalikan resistensi antimikroba. Perbaikan sistem harus menyeluruh, mencakup pemantauan penyebab resistensi antibiotik, pengendalian infeksi di rumah sakit, serta pengaturan dan promosi penggunaan obat yang tepat.

 

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, 28 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik di rumah. Menurut Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Hari Parathon, hal itu bisa jadi pemicu resistensi antibiotik.

 

Namun, resistensi antibiotik yang ada di masyarakat jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi di rumah sakit. "Penyebab terbanyak resistensi antimikroba di Indonesia adalah sejak awal salah memilih antibiotik dan pemberian antibiotik terlalu lama. Jenis bakteri yang banyak kebal adalah Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae," ucap Hari.

 

Mengutip data hasil surveilans KPRA-WHO-Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes tahun 2013 di enam rumah sakit di Indonesia, ada peningkatan prevalensi bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL) yang resisten terhadap antibiotik golongan sefalosporin generasi 3. Enzim ESBL mampu memecah antibiotik sehingga menghilangkan kemampuan antibiotik untuk melawan kuman penyakit. Itu merupakan indikator serius terhadap risiko kegagalan pengobatan kasus infeksi.

 

Keenam rumah sakit itu adalah RSUP Persahabatan (Jakarta), RSUD Dr Moewardi (Solo), RSUP Dr Kariadi (Semarang), RSUD Dr Soetomo (Surabaya), RSUD Saiful Anwar (Malang), dan RSUP Sanglah (Denpasar).

 

Terkait hal itu, menurut Hari, RS rujukan nasional dan provinsi akan dilatih mengendalikan resistensi antimikroba. Harapannya, mereka nantinya mengampu RS rujukan regional secara teknis dan strategis dalam pengendalian resistensi antimikroba. (ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com