Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/11/2015, 19:33 WIB
Lily Turangan,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan, bahwa banyaknya angka bunuh diri sudah sampai pada tahap sangat mengkhawatirkam.

Secara global, sekitar 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Itu berarti, ada satu kematian setiap 40 detik, terutama di kalangan usia muda.

Tekanan dan tuntutan hidup yang semakin besar, apapun bentuk tekanannya, menjadi salah satu penyebabnya. Kerapuhan mental dan rasa percaya diri yang rendah, disinyalir menjadi bagian dalam peningkatan  angka bunuh diri tersebut.

Penggunaan antidepresan pun terus meningkat, karena semakin banyak orang yang beralih ke obat-obatan untuk mengobati depresi mereka.

"Depresi adalah salah satu penyakit kesehatan mental yang paling umum atau paling banyak terjadi di sekitar kita," kata Marie A. Bernard, MD, Wakil Direktur National Institute on Aging (NIA).

Tiga puluh tahun yang lalu, sebagian besar peneliti kesehatan mental percaya, bahwa depresi disebabkan oleh "ketidakseimbangan kimia" neurotransmitter di otak. Tapi, teori ini sudah tidak berlaku lagi.

Menurut badan Understanding Depression, berdasarkan laporan kesehatan dari Harvard Medical School, depresi disebabkan oleh  beragam penyebab yang mencakup sel dan sirkuit saraf, kecenderungan genetik, peristiwa kehidupan yang penuh stres, obat-obatan tertentu, kemampuan individu menahan beban, dan isu-isu medis lainnya.

Penelitian selama beberapa dekade telah menunjukkan, bahwa antidepresan dapat membantu meringankan gejala depresi pada beberapa pasien.

Menurut Dr Bernard, antidepresan dapat membuat perbedaan dalam kehidupan seseorang, namun tidak semua orang cocok dengan obat-obatan antidepresan.

Beberapa peneliti mengatakan bahwa antidepresan juga dapat menimbulkan efek samping berupa sakit kepala,  mual,  disfungsi seksual, mulut kering, dan masalah kandung kemih.

Berdasarkan pengalamannya membantu para penderita depresi selama lebih dari 30 tahun, Joyce Mikal-Flynn, Ed.D, M.S.N., seorang profesor  di California State University, Sacramento, School of Nursing, menemukan bahwa hasil yang diberikan oleh placebo tidak ada bedanya dengan hasil yang diberikan oleh obat-obatan antidepresan. Bahkan untuk beberapa kasus, placebo memberi hasil yang lebih baik.

Selain placebo, para ahli juga mengenal metode alternatif berupa antidepresan natural yang bisa diterapkan untuk para penderita depresi, terutama yang intoleran terhadap obat-obatan.

 

1. Berpikiran damai

Bagaimana jika Anda bisa mengubah cara otak Anda bereaksi terhadap suatu kejadian? Inilah dasar dari mindfulness-based cognitive therapy (MBCT) atau terapi kognitif berbasis mindfulness.

Mindfulness berarti dengan cara tertentu kita diajak fokus pada saat ini, tidak khawatir pada apa yang belum terjadi, dan tidak punya pikiran menghakimi apapun. Intinya, kita diajak berdamai dengan diri sendiri dan momen yang kita hadapi.

Penelitian selama dua tahun di Inggris yang membandingkan hasil terapi MBCT dengan obat-obatan, menemukan bahwa MBCT dapat mencegah kekambuhan depresi sebanyak 47 persen, sedangkan obat-obatan sebanyak 44 persen.

 

2. Konsumsi herbal tanaman roseroot

Penelitian yang dilakukan University of Pennsylvania’s Perelman School of Medicine memberi hasil yang menggembirakan, bagi penderita depresi yang intoleran terhadap bahan kimia. Selama  12 minggu, para peneliti mengevaluasi hasil dari pemakaian herbal  Rhodiola rosea, placebo dan obat sertraline.

Mereka menemukan pasien yang memakai roseroot mengalami perbaikan sebesar 1,4 kali, sedangkan yang memakai sertraline sebanyak 1,9 kali.

Namun, 63 persen pengguna sertraline mengalami efek samping mual dan gangguan seksual. Sementara yang menggunakan roseroot, hanya 30 persen yang mengalami efek samping serupa.

 

3. Olahraga teratur

Ada banyak penelitian yang mengaminkan manfaat positif olahraga untuk mengatasi depresi. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh University of Toronto selama 26 tahun terhadap 6.363 pasien depresi. 

Mereka menemukan, 20-30 menit berjalan dan berkebun yang dilakukan setiap hari, terbukti secara signifikan mencegah depresi kambuh kembali.

 

4. Terapi Pijat

Tidak semua terapi depresi menuntut kerja keras. Sebuah penelitian yang dilakukan Dr. W.H. Hou dan dipublikasikan oleh Journal of Clinical Psychiatry  2010, menemukan bahwa terapi pijat secara signifikan dapat mengurangi gejala depresi.

Menurut Dr. W.H. Hou, salah satu efek samping depresi adalah timbulnya rasa nyeri. Dengan pijat dan akupunktur, rasa nyeri itu bisa diatasi.

 

5. Mandi matahari

Sinar matahari yang lama telah terbukti untuk meringankan depresi dan melindungi fungsi otak Anda.

Sebuah studi tahun 2009 terhadap 16.800 penderita depresi, yang diterbitkan oleh jurnal Environmental Health membuktikan, bahwa paparan sinar matahari mampu membuat hormon  serotonin dan melatonin bekerja dengan optimal. Hasilnya, fungsi kognitif membaik.

Sebuah studi pada tahun 2011 terhadap lebih dari 80.000 wanita pasca-menopause menemukan, bahwa peserta yang mengonsumsi lebih banyak vitamin D memiliki risiko 20 persen lebih rendah mendapat depresi.

Vitamin D adalah vitamin yang secara alamiah diproduksi oleh tubuh saat kita terpapar sinar matahari pagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com