Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/12/2015, 15:30 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kematian puluhan anak berusia di bawah lima tahun atau balita di Papua mencerminkan lemahnya sistem pemantauan dan respons terhadap masalah kesehatan di daerah, terutama di daerah terpencil. Karena itu, daerah perlu mengintensifkan pemantauan penyakit disertai respons cepat atas berbagai kasus itu.

Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (4/12), mengatakan, tiap kota/kabupaten perlu memiliki sistem surveilans dan respons. Dalam sistem itu, daerah memantau kematian dan penyakit disertai respons cepat atas kasus itu.

"Idealnya, ada ahli epidemiologi di tiap kota atau kabupaten, tetapi jumlah ahli itu terbatas," ucap Laksono. Banyak daerah dengan sistem surveilans dan respons lemah, tak hanya di Papua. Bahkan, di sejumlah daerah di Jawa, surveilans dan respons pada soal kesehatan lemah.

Sulit diakses

Saat dihubungi terpisah, spesialis kesehatan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Papua, dr Michael Bantung, menjelaskan, pendataan dan pelaporan menjadi masalah di Papua.

"Masalah pelaporan data terkait kesulitan akses. Daerah pesisir lebih terjangkau dibandingkan pegunungan. Di sejumlah daerah, data puskesmas masuk kabupaten setelah terkumpul 6 bulan atau satu tahun lebih dulu," ujarnya.

Kabupaten Nduga, tempat kasus kematian puluhan anak balita, hanya dijangkau dengan pesawat. Daerah binaan WVI yang lemah pendataan dan pelaporan di antaranya Jayawijaya, Tolikara, dan Lanny Jaya sehingga memicu keraguan kevalidan data yang terhimpun di provinsi.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan M Subuh menjelaskan, Puskesmas Mbuwa, Kabupaten Nduga, Papua, tak mencatat kematian anak balita. Akibatnya, tim Kemenkes sulit mengusut kebenaran informasi kematian 31 anak balita di daerah itu.

"Seharusnya puskesmas mendata. Ini kegagalan dan harus dibenahi. Rentang kendali pemerintah ke Puskesmas Mbuwa jauh sekali," ujarnya, di Yogyakarta, kemarin.

Di Puskesmas Mbuwa, ada 4 tenaga kesehatan, terdiri dari 1 dokter, 2 perawat, dan 1 bidan. Namun, mereka tak berperan optimal karena jarak antardesa jauh dan kondisi geografis amat berat. Di sisi lain, sebagian warga Mbuwa menganggap gejala yang muncul bukan penyakit karena belum parah.

Itu menyebabkan pencatatan kematian anak balita tak berjalan, termasuk pelaporan dari desa ke puskesmas. Karena itu, tim Kemenkes sulit mendapat data valid. Kematian anak balita yang diketahui tim itu adalah kasus tahun lalu hingga 4 bulan lalu.

Sementara tim kedua Kemenkes tiba di daerah itu dan akan melayani kesehatan dasar serta mengambil lagi spesimen. Hasil uji laboratorium atas spesimen menemukan virus pneumococcus dan Japanese encephalitis.

Menurut Kepala Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Pretty Multihartina, semua spesimen dari Mbuwa diperiksa di Balitbangkes. (JOG/ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com