Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/12/2015, 14:21 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Sejak usia dini, anak-anak Indonesia sudah terpapar asap rokok. Mudahnya melihat perokok di lingkungan sekitar dan masifnya iklan rokok mendorong mereka jadi perokok aktif di usia muda. Perilaku itu akan jadi beban besar bagi Indonesia yang sudah masuk masa bonus demografi.

Global Youth Tobacco Survey 2014 menunjukkan, 20,3 persen anak umur 13-15 tahun atau usia sekolah menengah pertama (SMP) sudah jadi perokok aktif. Jumlah itu setara 36,2 persen anak lelaki dan 4,3 persen anak perempuan. Sebagian besar di antaranya terpapar rokok di rumah ataupun tempat umum.

Sifat adiksi rokok membuat anak sulit berhenti merokok. Karena itu, sesuai Riset Kesehatan Dasar 2013, kian bertambah umur, makin tinggi prevalensi perokok. Pada 2013, 65 juta atau 28 persen orang Indonesia merokok, terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India.

Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily S Sulistyowati, dalam inisiasi program Generasi Kreatif: Penggerak Nusantara di Jakarta, Kamis (17/12), mengatakan, tingginya prevalensi perokok harus jadi perhatian. Pengendalian tembakau perlu jadi prioritas kesehatan nasional karena buruknya dampak rokok.

Kemenkes berupaya mengatasi hal itu, tapi dukungan kementerian lain amat minim karena pertentangan kepentingan kesehatan dan industri. Hal itu diperparah masifnya iklan dan dukungan industri rokok pada kegiatan yang melibatkan remaja.

Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Soewarta Kosen menyebut kerugian akibat rokok 2013 Rp 378,75 triliun. Rinciannya, pembelian rokok Rp 138 triliun; hilangnya produktivitas karena sakit, disabilitas, dan kematian prematur usia Rp 235,4 triliun; serta biaya berobat akibat penyakit terkait rokok Rp 5,35 triliun.

"Jumlah itu 3,7 kali lebih besar daripada cukai tembakau yang diperoleh negara di tahun sama, Rp 103,02 triliun," ujarnya.

Kawasan tanpa rokok

Sekolah termasuk kawasan tanpa rokok. Meski demikian, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan DKI Jakarta Tadjudin Nur mengakui masih ada orang merokok di lingkungan sekolah, baik itu guru, penjaga keamanan, maupun petugas kebersihan. Namun, guru yang merokok di sekolah tak bisa diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah.

Meski sekolah aman, paparan rokok jauh lebih masif ada di luar sekolah dan sulit dikendalikan. Kawasan tanpa rokok (KTR) di luar sekolah ada di angkutan umum, fasilitas kesehatan, tempat bermain anak, tempat ibadah, kantor, dan tempat umum lain yang ditetapkan pemerintah.

Kepala Subdirektorat Pengendalian Penyakit Kronik dan Degeneratif Kemenkes Theresia Sandra, di Kuta, Bali, mengatakan, 195 daerah punya regulasi KTR, tetapi baru 60 daerah di antaranya yang aturannya berupa peraturan daerah. Sisanya masih berupa peraturan bupati atau peraturan wali kota. "Kami dorong aturan KTR berbentuk perda," ujarnya.

Meski ada aturan KTR, tingkat kepatuhannya di sejumlah daerah rendah. Pengawasan Smoke Free Jakarta bersama Pemerintah DKI Jakarta menunjukkan, rata-rata tingkat kepatuhan KTR di Jakarta 45 persen.

Jakarta Barat jadi daerah dengan kepatuhan tertinggi, sedangkan terendah di Jakarta Timur. "Kepatuhan terendah ada di mal, restoran, dan hotel," kata Koordinator SFJ Bernadette Fellarika Nusarrivera.

Di Kota Bogor, kepatuhan aturan KTR turun karena berkurangnya frekuensi penindakan pelanggaran KTR yang masuk tindak pidana ringan. Pada Maret 2012, kepatuhan 81 persen, dan Juli berikut tinggal 68 persen. Jika semula penindakan sebulan sekali, bulan berikutnya tak dilakukan sama sekali.

"Jika penegakan pidana turun, inspeksi mendadak di KTR jadi alternatif meningkatkan kepatuhan," kata Staf Pengawasan dan Evaluasi No Tobacco Community Kota Bogor Bambang Priyono.

Menurut Koordinator Pengendalian Tembakau Pusaka Indonesia Medan OK Syahputra Harianda, lembaganya mengembangkan aplikasi Lapor KTR yang bisa diunduh lewat Android atau iOS. Dengan aplikasi itu, warga bisa melaporkan pelanggaran KTR kepada pemerintah sehingga kepatuhan KTR di Medan yang 20 persen bisa naik.

"Jika pemerintah serius tegakkan aturan, warga akan menilai positif," ujarnya. (ADH/MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com