Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/12/2015, 15:00 WIB
SINGAPURA, KOMPAS — Mahalnya biaya terapi kanker menyebabkan setidaknya lima persen dari pasien di Asia Tenggara dan keluarganya jatuh miskin. Untuk itu, perlu ada kebijakan yang memprioritaskan pencegahan dan edukasi serta subsidi yang tepat sasaran.

Dr Nirmala Bhoopati, Social and Preventive Medicine, University of Malaya Faculty of Medicine, Kuala Lumpur, Malaysia, menyatakan, angka itu diperoleh dari data yang dikumpulkan di 8 negara di Asia Tenggara, yakni Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Tim peneliti mengevaluasi para pasien yang mengeluarkan biaya terapi lebih dari 30 persen penghasilannya. Para pasien tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan berpenghasilan di bawah 2 dollar AS per hari.

Pengeluaran besar untuk terapi kanker berdampak negatif bagi pasien. Berdasarkan studi, hampir 20 persen pasien tak berobat karena tak bisa membayar obat. Pasien kurang mampu punya risiko kematian 80 persen dalam 12 bulan setelah diagnosis dibandingkan pasien lain yang tak kesulitan ekonomi.

Menurut Prof Christoph Zielinski, dari Medical University of Vienna, Austria, dalam European Society for Medical Oncology (ESMO) Asia 2015, di Singapura, Jumat (18/12), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Amanda Putri, kanker menimbulkan beban keuangan signifikan kepada pasien, termasuk di negara berpendapatan menengah ke atas.

Karena itu, pasien di negara menengah ke bawah menghadapi beban lebih besar. Hanya deteksi dini yang bisa meringankan beban finansial itu.

Mereka yang didiagnosis terkena kanker stadium lanjut tak punya asuransi kesehatan, berpendapatan rendah, menganggur, dan berpendidikan rendah, sehingga rentan krisis finansial. "Stadium kanker menjelaskan mayoritas risiko dari malapetaka finansial dan kematian lebih cepat," kata Nirmala.

Namun, pasien berpendapatan minim tetap rentan secara finansial meski didiagnosis kanker stadium dini. Jadi, strategi mengatasi dampak finansial pada pasien kanker yang kurang mampu harus diprioritaskan.

Studi itu menawarkan data signifikan bagi pengambil kebijakan untuk menerapkan strategi pengendalian kanker yang efektif. Deteksi dini mengurangi dampak ekonomi dan kesehatan pada pasien berpendapatan menengah ke bawah. Akses layanan medis dan perlindungan risiko finansial pun perlu ditingkatkan.

Inovasi terapi

Terkait kemajuan terapi, Tanguy Seiwert, Associate Director Program Kanker Kepala dan Leher University of Chicago, Amerika Serikat, mengatakan, terapi imun punya efek samping jauh lebih kecil dibandingkan kemoterapi.

"Sistem kekebalan tubuh terlalu kuat bisa menyerang tubuh sehingga tetap ada efek samping terapi imun," ujarnya.

Richard Quek, Deputy Head Divisi Onkologi Medik Pusat Kanker Singapura, mengatakan, pengobatan kemoterapi tak efektif, khususnya pada melanoma. Terapi melanoma paling efektif ialah terapi target dan terapi imun karena titik kanker terdeteksi jelas di permukaan kulit.

Aung Myo, AP Regional Medical Affairs Director, Oncology MSD, menyebut, pada 2011-2015, riset pembrolizumab mencapai lebih dari 160 uji klinis pada 30 jenis tumor, melibatkan 22.000 pasien. Hasilnya positif pada 17 jenis tumor antara lain, kanker paru dan kanker hati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com