Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/01/2016, 12:15 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Setiap kali isu tentang LGBT (lesbian, gay, transgender, dan biseksual) muncul di media, selalu ada pro dan kontra yang berkembang.

Masyarakat umumnya menganut norma heteronormatif, yang meyakini jender hanya terdiri dari laki dan perempuan, tidak ada yang sejenis atau tidak. Karenanya, mereka yang berada di wilayah"abu-abu" itu dianggap sebagai penyimpangan, bahkan penyakit gangguan mental.

Sebelum tahun 1973, para ahli psikiatri dan dokter memang masih menganggap orientasi seksual penyuka sesama jenis sebagai gangguan jiwa. Tetapi sejak tahun 1973, American Psychiatric Association menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa.

Dalam acuan diagnostik para ahli psikiatri di seluruh dunia, yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) III tahun 1973 homoseksual juga tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa.

Sementara itu, di Indonesia dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993, pada point F66 meyebutkan bahwa orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) bukan gangguan kejiwaan.

"Di situ jelas tertulis bahwa orientasi seksual tidak termasuk gangguan jiwa atau penyimpangan. Tapi, bisa disebut gangguan jiwa jika bersifat ego distonik atau seseorang merasa terganggu dengan orientasi seksualnya sehingga timbul konflik psikis," kata dr.Andri, Sp.KJ dari RS.Omni Alam Sutra ketika dihubungi Kompas.com (29/1/16).

Andri mengatakan, dalam praktik sehari-hari ia banyak menemukan pasien LGBT yang merasa depresi. "Biasanya pemicu depresinya karena mendapat tanggapan tidak baik atau stigma dari lingkungannya, atau ditinggal oleh orang yang selama ini bisa mengerti dan menerima dia," katanya.

Pada pasien yang mengalami ego distonik atau tidak bisa menerima orientasi seksualnya, menurut Andri, seorang psikiater biasanya berupaya memberi penanganan secara psikologis agar ia bisa menerima diri apa adanya sehingga rasa kecemasan, kesepian, dan sedih dapat dihilangkan.

Ia menambahkan, jarang ada pasien homoseksual yang ingin mengubah orientasi seksualnya. "Memang ada yang berpendapat homoseksual bisa diubah, tapi kalau homoseksual murni tidak bisa. Kalau ada homoseksual yang akhirnya menikah dengan lawan jenis, kemungkinan ia adalah seorang yang biseksual," ujarnya.

Menurut Andri, orientasi seksual juga tidak menentukan sifat atau aspek mental lainnya. "Kalau ada yang menyatakan homoseksual pasti melakukan perbuatan menyimpang, itu tidak benar. Orang heteroseksual pun bisa melanggar norma yang berlaku di masyarakat," katanya.

Varian

Mengenai penyebab adanya orientasi seksual yang berbeda, dr.Roslan Yusni Hasan, spesialis bedah saraf, menjelaskan, orientasi seksual seseorang ditentukan oleh otaknya, bukan jenis kelaminnya.

"Organ seks yang utama adalah otak, bukan alat kelamin. Karena orientasi seksual seseorang dibentuk di otak. Jadi kita sendiri yang membuat apa yang dianggap bisa merangsang libido," kata dokter yang akrab disapa dr.Ryu ini.

Pembentukan orientasi seksual ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor perkembangan otak sejak masih menjadi janin. "Misalnya kalau saat hamil ibunya terkena infeksi, sehingga bagian otak tertentu berkembang lebih pesat dibanding bagian lainnya. Akibatnya sifat atau selera dapat berbeda," ujar dokter yang banyak mempelajari kerja otak ini.

Selain itu, otak kita juga menentukan orientasi diri (gender). "Orientasi diri itu misalnya saya feminin atau saya maskulin. Otak adalah organ yang pertama kali terbentuk di kandungan dan ia menyusun segala macam, termasuk identitas diri seseorang," katanya.

Ryu menegaskan, perbedaan orientasi seksual merupakan varian di alam semesta. "Alam semesta ini bersifat acak, tapi manusianya yang menyukai pola. Padahal, ada banyak varian. Termasuk untuk urusan orientasi seks," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com