Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/02/2016, 17:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terpapar berbagai virus. Selain penemuan virus Zika di Jambi pada 2015, beberapa jenis virus lain, seperti West Nile, masuk ke Indonesia, tetapi belum terpetakan sebarannya.

Namun, sistem surveilans sebagai bagian dari proteksi terhadap penyakit menular, terutama disebabkan virus, dinilai masih lemah.

Menurut Deputi Direktur Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo di Jakarta, Minggu (31/1), dengan banyaknya pelabuhan dan titik masuk ke Kepulauan Nusantara, Indonesia yang ada di daerah tropis berpotensi mengalami ledakan kasus zoonosis atau penyakit bersumber binatang.

Herawati menambahkan, penemuan virus Zika dan sejumlah virus lain di Indonesia bukan merupakan surveilans yang sistematis untuk memetakan sebaran penyakit zoonosis atau penyakit ditularkan lewat hewan ke manusia atau sebaliknya.

"Kami menemukan ini dalam riset ilmiah, untuk melihat secara komprehensif sumber penyakit yang tak diketahui dan kerap dikira virus dengue atau malaria," kata Herawati. Eijkman ialah lembaga riset biologi molekuler di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Selama ini, laporan kasus kematian dengan gejala demam tinggi, tetapi belum diketahui penyebab dan sumbernya, kerap ditemui. Misalnya, kasus itu dilaporkan terjadi pada Oktober hingga akhir November 2006 di RS Sint Carolus, seperti disampaikan Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan melalui laman resmi mereka.

"Karena kasus-kasus itu, Eijkman membentuk panel. Jadi, begitu ada kasus demam akut dan negatif dengue atau malaria, langsung masuk panel yang kami buat untuk meneliti virus yang baru muncul (emerging). Selain itu, ada kasus yang semula negatif dengue, dengan platform yang lebih sensitif, ditemukan ada dengue positif," ujarnya.

Seperti temuan virus Zika, Eijkman menemukan virus West Nile (WNV) saat meneliti sampel pasien yang demam, tetapi setelah negatif dengue. "Karena samplingnya tak mudah, awalnya kami pakai materi arsip lebih dahulu. Ternyata, pada 2014 ditemukan WNV," kata Herawati.

Virus Zika jadi perhatian dunia setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan waspada, terutama setelah dugaan kuat virus itu memicu melonjaknya kasus bayi dengan mikrosefalus.

Namun, WNV pun perlu diwaspadai. Seperti demam berdarah dengue dan Zika, WNV juga disebarkan lewat gigitan nyamuk. Kasus WNV pertama kali ditemukan di Uganda, lalu menyebar ke sejumlah negara lain. Penderitanya biasanya demam, sakit kepala, nyeri otot, muntah, diare, dan ruam. Sekitar 10 persen kasus WNV disertai gejala neurologi dan mematikan.

Adanya WNV dilaporkan Tropical Disease Diagnostic Center (TDDC) Universitas Airlangga, Surabaya, 2014. Saat itu, TDDC melaporkan ada pasien positif terinfeksi WNV dan sembuh.

Menurut peneliti Emerging Virus Research Unit Lembaga Eijkman, Frilasita Yudhaputri, kemungkinan WNV telah lama ada di Indonesia. Sebab, sampel pasien yang diteliti Eijkman dan positif WNV ialah material lama, didapat dari dua rumah sakit di Kota Bandung pada 2004-2005.

Surveilans sistematis

Kepala Unit Dengue Lembaga Eijkman Tedjo Susmono mengatakan, belum ada data sebaran virus Zika ataupun WNV. Idealnya, ada surveilans sistematis untuk memetakan berbagai virus. Minimnya laporan sebaran virus Zika atau WNV tak menjamin tak ada virus itu karena surveilans komprehensif belum dilakukan.

Pemerintah Kolombia, Sabtu (30/1), mengumumkan, lebih dari 2.000 perempuan hamil terinfeksi Zika. Lembaga Kesehatan Nasional Kolombia melaporkan, 20.297 orang terinfeksi Zika, 2.116 di antaranya perempuan hamil. Kolombia di urutan kedua negara paling terdampak di kawasan itu setelah Brasil.

Meski gejala infeksi ringan, Zika diduga terkait melonjaknya kasus mikrosefalus, kondisi bayi lahir dengan kepala dan otak kecil. Tak ada laporan kasus mikrosefalus atau kematian karena virus itu di Kolombia.

Kasus Zika dikonfirmasi di 23 negara dan wilayah di Benua Amerika. WHO memperingatkan, virus itu menyebar amat cepat di Benua Amerika. Jumlah korban terinfeksi tahun ini diprediksi 4 juta orang. (AIK/AFP/REUTERS/DI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com