Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/02/2016, 14:20 WIB
Ratna Sundari terbaring lemas di Ruang Melati Puskesmas Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (20/2). Sesekali ia meminum jus jambu yang diberikan Tasingah (33), ibundanya. Tiga malam sudah ia dirawat di sana. Tasingah cemas menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, apakah anak sulungnya positif demam berdarah dengue atau tidak.

Menurut Tasingah, anaknya sempat diperiksa perawat di desanya. Ratna dikhawatirkan terkena demam tifoid. "Siang sih tidak apa-apa. Malamnya tiba-tiba demam. Saya khawatir," ujarnya.

Menurut Tasingah, dirinya dan keluarga sering membersihkan tempat penampungan air di rumahnya. Jika Ratna positif terkena demam berdarah dengue (DBD), ia menduga sumber penularannya berasal dari nyamuk di sekitar kandang sapi milik tetangganya.

Tasingah semakin khawatir anaknya terkena DBD karena dua tetangganya ada yang terkena DBD sebelumnya. Bahkan, salah seorang di antara mereka dirujuk ke Rumah Sakit Banjar karena mengalami perdarahan.

Ratna menjadi orang ke-14 pada Februari ini yang dirawat di Puskesmas Pangandaran karena DBD. Sebelumnya, Januari 2016, ada 18 pasien DBD di Puskesmas Pangandaran dengan lama perawatan rata-rata seminggu. Menurut Kepala Puskesmas Pangandaran Yadi Sukmayadi, jumlah itu lebih banyak dibandingkan Januari 2015 yang hanya terdapat delapan kasus DBD.

Menurut Yadi, pasien DBD tahun ini banyak berasal dari Desa Wonoharjo, Kecamatan Parigi. Setelah petugas puskesmas mengecek ke rumah warga, ternyata banyak didapati jentik nyamuk di bak mandi mereka. "Kesadaran warga untuk hidup bersih dan sehat masih rendah," ujarnya.

Yadi menginformasikan, sejak kasus DBD banyak terjadi, pihaknya telah melakukan pengasapan (fogging) di sejumlah tempat di Pangandaran dan Parigi. Penyuluhan melalui posyandu dan pemantauan jentik nyamuk juga dilakukan petugas puskesmas.

Suhu hangat

Pangandaran yang kini menjadi kabupaten sendiri, lepas dari Kabupaten Ciamis, berada di pesisir selatan Jawa Barat. Daerah yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dengan suhu rata-rata hangat itu sangat kondusif bagi nyamuk untuk berkembang biak. Ada banyak tempat yang cocok sebagai perindukan nyamuk.

Dulu, Pangandaran bersama beberapa kecamatan lain di Kabupaten Ciamis, seperti Kalipucang dan Parigi, merupakan daerah endemis malaria. Laguna di pesisir pantai menjadi tempat berkembang biak nyamuk Anopheles penyebab malaria.

Karena tingginya kasus malaria, pada 1999 didirikanlah Stasiun Lapangan Penyakit Menular Pemberantasan Vektor (SLVP) dengan dukungan Bank Pembangunan Asia untuk memonitor penyakit malaria di pesisir selatan Jawa Barat.

Seiring waktu, Pangandaran berubah menjadi daerah tujuan wisata pantai yang ramai. Hotel dan penginapan banyak dibangun. Warung yang menjual makanan dan suvenir bagi wisatawan juga bertebaran. Permukiman pun kian padat.

Pola penyakit pun ikut berubah. Menurut Yadi, kasus malaria yang dulu banyak di Pangandaran sejak 2005 tidak ada lagi. "Dulu, yang banyak kasus malaria Desa Babakan," katanya.

Kepala Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran, Undang Herdi, mengatakan, dirinya tidak mengetahui jelas perbedaan malaria dengan DBD. Yang ia tahu, tiga tahun lalu ada warganya yang mendapatkan bantuan kelambu, bulan lalu ada lima warganya yang sakit, dan warga iuran untuk membiayai pengasapan.

"Rawa-rawa dekat laut memang ada. Banyak permukiman nelayan di sekitar daerah itu. Kalau arus air di muara tersendat, kemungkinan itu jadi tempat berkembang biak nyamuk," tutur Undang.

Menurut dia, selama ini jarang sekali penyuluhan kesehatan dilakukan di desanya.

Tidak ada lagi malaria

Seiring dengan kasus malaria yang berkurang, riset di SLVP yang dulu fokus pada malaria pun kini meluas pada penyakit tular vektor lain, seperti chikungunya, filariasis, dan DBD. SLVP pun berubah nama menjadi Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2) Ciamis.

Hasil penelitian Kepala Loka Litbang P2B2 Ciamis Lukman Hakim tahun 2015 seolah mengonfirmasi hal itu.

Hasil penelitian Lukman menunjukkan, tidak ditemukan malaria pada 500 sampel darah manusia dan sampel nyamuk Anopheles sundaicus yang selama ini menjadi vektor utama malaria di Pangandaran.

Sampel diambil pada periode Juni-Oktober 2015 di empat tempat. Pada saat bersamaan, kasus DBD dari tahun ke tahun cenderung naik. Fakta ini seolah-olah menunjukkan bahwa penyakit malaria yang dulu banyak di Pangandaran telah "digantikan" DBD yang sama-sama disebarkan oleh nyamuk.

Hasil penelitian lain dari Loka Litbang P2B2 Ciamis tahun 2013 terhadap 57 kios di Pasar Wisata Pangandaran menunjukkan, berdasarkan indeks kepadatan jentik, Pangandaran dikategorikan sebagai daerah dengan risiko penularan sedang. Selain itu, temuan lain yang menarik ialah ditemukan aktivitas malam hari (pukul 18.00-03.00) nyamuk Aedes.

Menurut peneliti Loka Litbang P2B2 Ciamis, Heni Prasetyowati, meskipun tidak diketahui adanya aktivitas menggigit di malam hari, temuan bahwa Aedes juga beraktivitas pada malam hari semakin meningkatkan risiko penyebaran penyakit DBD.

Temuan tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah dan pengelola tempat wisata agar selalu menjaga kebersihan Pangandaran. Jika tidak, satu juta lebih wisatawan yang datang ke Pangandaran setiap tahun berisiko digigit nyamuk dan terinfeksi penyakit.

Berdasarkan penelitian lain, aktivitas nokturnal nyamuk Aedes juga ditemukan di sejumlah tempat di Bogor, Pulau Pramuka, dan Pulau Pari di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, serta di Kota Balikpapan dan Lombok Utara.

Menurut Lukman, infeksi penyakit tular vektor nyamuk terjadi jika manusia mendekati nyamuk atau sebaliknya nyamuk mendatangi manusia.

Lukman juga mengingatkan, tidak adanya kasus malaria dalam beberapa tahun terakhir tidak boleh membuat masyarakat dan pemerintah lengah. Malaria sewaktu-waktu dapat muncul kembali karena vektor penyebar penyakitnya ada di sana.

Sebenarnya, menurut Lukman, kondisi Pangandaran tidak cukup kondusif bagi nyamuk Aedes untuk berkembang biak pesat. Umur Aedes di Pangandaran kemungkinan lebih pendek.

Oleh karena itu, banyaknya kasus DBD beberapa waktu terakhir masih dipantau untuk lebih memastikan apakah kasus itu terkait erat dengan indeks jentik yang padat atau karena sebab lain, seperti infeksi terjadi di luar Pangandaran.

Bagi tempat wisata, aspek kebersihan lingkungan sangat menentukan keberlangsungan pariwisata. Jika tidak dijaga, bukan tidak mungkin pamor Pangandaran bisa menurun.

Kondisi kesehatan Pangandaran itu akan menjadi urusan Jeje Wiradinata yang baru beberapa hari dilantik menjadi Bupati Pangandaran. Saatnya menunjukkan bahwa pemekaran wilayah benar-benar dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (Adhitya Ramadhan)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul "Malaria Hilang, DBD Datang".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com