Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aji Chen Bromokusumo
Budayawan

Anggota DPRD Kota Tangerang Selatan Fraksi PSI dan Anggota Komisi IV DPRD Kota Tangerang Selatan

Minyak Goreng dan Hubungan Khususnya dengan Mi Instan

Kompas.com - 15/03/2016, 20:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Istilah minyak goreng sebenarnya adalah istilah yang kurang pas. Pasalnya, fungsi minyak ini bukan hanya untuk menggoreng, melainkan untuk menumis, salad dressing, dan sebagainya. Sehingga lebih pas bila minyak ini disebut dengan ‘cooking oil’ atau minyak masak.

Minyak masak ini jenisnya sangat banyak, mulai dari minyak sawit, canola, jagung, hingga zaitun. Namun biasanya yang menaruh perhatian lebih adalah para ibu, sementara kebanyakan bapak-bapak tinggal lheb…..nyam, nyam, tidak pernah tahu yang dipakai masak itu minyak apa.

Kepopuleran dan penggunaan masing-masing minyak ini tergantung tempat, negara dan lokasi berdasarkan letak geografisnya.

Di Eropa misalnya, di pasaran lebih banyak ditemukan canola dan soybean oil, dengan variasi sunflower oil, corn oil, peanut oil dan olive oil tentu saja. Sementara di Eropa bagian selatan, olive oil lebih populer dan banyak digunakan dalam keperluan sehari-hari.

Di kawasan tropis, palm oil dan coconut oil lebih umum digunakan. Selain harga yang terjangkau, juga memang banyak tumbuh di kawasan tropis.

Total konsumsi oil and fats di 20 tahun lalu masih berkisar antara 82 juta ton di seluruh dunia, melompat tajam 2 kali lipatnya di 2010 ini diperkirakan mencapai 170 juta ton di seluruh dunia. Minyak sawit masih berkisar 14% di 20 tahun lalu, naik dua kali lipat 28%, dan menjadi nomor satu di antara minyak yang lain.

Penggunaan minyak sawit sudah sangat meluas, bahkan kebanyakan orang tidak sadar yang dikonsumsi dan dipakainya itu berbahan baku palm oil.

Yang akan kita bahas di sini adalah palm oil (minyak sawit). Nama ilmiahnya adalah Elaeis guineensis berasal dari Africa, dan sekarang banyak sekali menyebar di negeri-negeri tropis, termasuk Indonesia kita ini. Mari kita lihat dari dekat bentuk dan bagian kelapa sawit.

Aji Bromokusumo Bagian buah kelapa sawit

Yang memberikan minyak adalah bagian yang kuning kemerahan, sementara di tengah yang berwarna putih disebut dengan kernel, juga menghasilkan minyak. Namun minyak yang dihasilkan dari kernel jauh lebih mahal dan berharga dibandingkan dengan minyak sawitnya sendiri.

Kernel oil adalah salah satu bahan terpenting dalam pembuatan parfum. Tentu saja banyak lagi campuran, tapi salah satu komponen penting adalah kernel oil ini.

Minyak sawit menjadi makin mendunia dikarenakan produksi minyak yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah yang tertinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya.

Dalam pemrosesannya, minyak sawit mentah dipisahkan menjadi bagian yang cair disebut olein dan bagian padatnya yang disebut stearin.

Olein akan diproses lebih lanjut menjadi minyak masak yang kita kenal dan stearin digunakan lebih lanjut untuk berbagai keperluan industri oleochemicals.

Hasil dari pemisahan ini disebut Refined Bleached Deodorized Palm oil (RBDPO), yang sudah lebih bersih, karena dihilangkannya bebauan yang mengganggu.

RBDPO diproses lebih lanjut menjadi Refined Bleached Deodorized Palm Olein, lazim disebut RBD Olein saja, dan bagian padatan yang disebut Refined Bleached Deodorized Stearin, sering disingkat RBD Stearin atau Stearin saja.

Pemrosesan berikutnya adalah memroses RBD Olein ini dengan menggunakan proses kimiawi dan mekanis untuk menjernihkan, membersihkan dan menyaring olein sampai menjadi layak konsumsi.

Olein murni dari CPO masih berwarna merah terang yang menandakan kandungan tinggi betakaroten (semacam senyawa yang terdapat di wortel, yang menyebabkan warna orange-merah terang), yang sangat bermanfaat untuk tubuh kita.

Sementara kegunaan stearin bermacam-macam, kebanyakan adalah untuk oleochemicals, industri lilin, industri makanan dan masih banyak lagi.

Beberapa tahun belakangan, stearin banyak diproses lebih lanjut menjadi biodiesel yang disebut FAME (Fatty Acid Methyl Ester), notabene adalah proses sederhana esterifikasi.

Stearin inilah yang banyak sekali digunakan dalam industri mi instan sebagai filler dan bahan tambahan gandum untuk mi. Stearin inilah yang sering dikira lilin yang melapisi mi instan supaya tidak lengket di panci atau pada waktu direbus.

Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, karena memang stearin ini adalah substansi yang secara fisik mirip sekali dengan lilin, meski secara kimia berbeda.

Lilin yang kita kenal kebanyakan berasal dari minyak bumi, yang dalam proses fraksinasi dibagi menjadi beberapa tingkatan: avtur, bensin (berbagai octane number), solar/diesel fuel, minyak tanah, aspal dan paraffin wax. Paraffin wax inilah bahan dasar industri lilin terutama di Indonesia.

Lilin untuk rumah tangga (untuk lampu mati), lilin untuk sembahyang (gereja, kelenteng, vihara), bahan dasar utamanya adalah paraffin wax ini.

Sementara stearin juga adalah bahan baku pembuatan lilin. Tapi lilin yang berbahan dasar stearin ini digolongkan sebagai premium candles. Biasanya digunakan sebagai dekorasi rumah untuk membangkitkan suasana tertentu dan juga aromatherapy.

Perbedaan mencolok kedua substansi ini akan terlihat jika dinyalakan. Yang berbahan paraffin wax akan berasap hitam, dan biasanya tidak habis terbakar. Setelah lilin habis, masih ada sisa lelehan lilin yang tersisa.

Sedangkan yang berbahan stearin, hampir tidak ada asap dari sumbunya, dan semua lilin habis terbakar tidak bersisa. Lilin yang ada di rumah anda yang seperti apa?

Kebanyakan di negara-negara maju, banyak rumah tangga membeli lilin untuk keperluan memberikan suasana dalam ruangan, untuk candle light dinner atau membangun suasana dalam kamar tidur, dengan bebauan khusus aromatherapy.

Yang menyebabkan salah kaprah terutama dalam komunikasi kita yang berbahasa Indonesia adalah kedua bahan/substansi ini disebut dengan “wax” yang secara harafiah diterjemahkan menjadi lilin. Padahal struktur kimia keduanya jauh berbeda.

Kembali lagi pada peran stearin dalam industri mi instan. Terutama di Indonesia, peran stearin sungguh besar. Penambahan stearin ke dalam mi dimaksudkan untuk memberikan tekstur kenyal, renyah dan tidak lengket.

Jadi anggapan luas “ditambahi lilin” tidak salah sepenuhnya. Pemahaman yang benar adalah penambahan stearin yang berasal dari kelapa sawit secara prinsip tidaklah membahayakan tubuh kita, sejauh ‘stearin-intake’ itu masih dalam batas-batas wajar dan dapat diterima oleh metabolisme tubuh kita.

Jumlah penambahan stearin ke dalam mi instan berbeda-beda di tiap merek dan produser. Secara umum dapat diterapkan rumus: “makin murah harga mi instan, ya makin banyak stearin yang dicampurkan”.

Mi instan premium, terutama yang import, dari Jepang dan Korea, kebanyakan murni 100% gandum tanpa campuran stearin sama sekali.

Untuk merek-merek lokal dan merek dari Tiongkok, jumlah penambahan stearin itu bervariasi. Indikatornya adalah harga!

Tidaklah mengherankan jika ada reaksi-reaksi negatif penolakan tubuh kita seperti perut kembung, maag kumat, diare, kolesterol dan sebagainya. Bahkan pernah terjadi kasus ekstrim yang berakhir pada kematian karena seseorang  hanya menyantap mi instan.

Kandungan kolesterol tinggi, maag dan reaksi lain dari tubuh kita adalah wajar dan normal. Bisa dibayangkan dari mi-nya sendiri sudah mengandung begitu banyak lemak (stearin adalah lemak, walaupun nabati, tapi tetap saja lemak), kemudian digoreng sampai kering dengan minyak sawit juga, bumbu-bumbu penyedap juga menggunakan minyak sawit plus MSG juga.

Nasehat untuk membuang air rebusan pertama, atau tidak menggunakan bumbu bawaan, sebenarnya tidak banyak membantu. Air rebusan berapa kali saja, tetap tidak akan membuang kandungan stearin yang ada dalam mi instan.

Obesitas dan melonjaknya kadar kolesterol bagi para penggemar fanatik mi instan, tidaklah mengherankan. Liver kita yang ditugasi mengolah dan memecah segala jenis ‘fats & oils intake’ dipaksa bekerja ekstra keras dan timbunan lemak dalam tubuh juga akan meningkat seiring berjalannya waktu.

Dalam jangka panjang kerusakan organ tubuh tertentu jelas tak terhindarkan. Pencernaan terganggu sudah merupakan konsekuensi logis.

Goreng Menggoreng

Semuanya makin diperparah dengan kebiasaan umum masyarakat perkotaan. Goreng menggoreng! Gorengan digemari masyarakat luas. Di setiap saat, setiap kesempatan, kapan saja, gorengan ada di sekitar kita, sepanjang hari.

Sarapan hampir pasti ada goreng menggoreng. Entah nasi goreng, mi goreng, kuetiau goreng, tempe goreng, telor goreng, tahu goreng, pisang goreng, ubi goreng, bakwan goreng dan masih banyak lagi.

Bahkan bubur ayam, soto ayam, suiran ayamnya juga pasti digoreng juga. Setelah direbus, biasanya digoreng lagi sebelum disuir-suir.

Di sela-sela waktu sampai makan siang, camilan apapun bisa dipastikan dekat dengan goreng menggoreng. Kerupuk, keripik, kacang, apa saja. Demikian juga setelah makan siang, pisang goreng, ubi goreng, tahu goreng, kembali lagi menemani saat minum teh atau ngopi di sore hari.

Memang sungguh nikmat dan lezat makanan yang digoreng. Menggoreng adalah teknik memasak makanan dengan media pemanas minyak. Panas dihantarkan ke makanan melalui media minyak, yang sekaligus memberikan tekstur renyah, gurih dan sedap.

Mengonsumsi makanan gorengan terus tiap hari sudah merupakan satu masalah, masih ditambah lagi kualitas minyak goreng yang digunakan.

Kebanyakan masyarakat luas, terutama yang berpenghasilan rendah, membeli minyak goreng curah. Minyak goreng curah adalah minyak goreng tanpa merek, tanpa kemasan, bisa dibeli eceran seperempat liter, setengah liter atau tigaperempat liter.

Minyak goreng curah ini sangat merusak kesehatan. Handling dari pabrik sampai ke pasar-pasar yang menjual eceran minyak jenis ini, sungguh tidak jelas. Selain kotor, kemasannya tidak jelas kualitasnya.

Penjual biasanya menjual minyak goreng curah ini dengan plastik. Terpapar sinar matahari langsung di pasar terbuka, sudah cukup menyebabkan perubahan struktur dari plastik dan minyak goreng itu sendiri.

Itu belum semua! Minyak goreng curah bekas goreng menggoreng, ternyata ada yang berasal dari proses daur ulang yang mengerikan. Minyak bekas tadi akan dikumpulkan, dan di-treatment dengan cara-cara ngawur untuk kemudian dikemas dan dijual lagi.

Minyak bekas itu ditambahkan bahan-bahan kimia tertentu yang bisa mengikat dan menyerap bau, menyerap warna buram karena sudah digunakan menggoreng, kemudian dipanaskan dan disaring kembali.

Secara kasat mata, minyak goreng daur ulang ini kelihatan bening dan seperti baru, tidak berbau bekas gorengan makanan, tidak tengik. Namun di balik itu semua terdapat kandungan racun yang mematikan dalam jangka panjang.

Ada juga pengumpul khusus minyak-minyak bekas gorengan resto cepat saji yang dominan menjual ayam goreng. Walaupun perusahaan secara ketat menerapkan  pengawasan untuk mutu makanan mereka, tapi apa daya, jika minyak bekas gorengan mereka “dikaryakan” oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab.

Minyak bekas itu ada pengumpulnya, kemudian akan dijual atau di’treatment langsung oleh mereka sendiri sebelum dijual lagi.

Menurut para pengumpul minyak bekas itu, rasa gorengan yang digoreng dengannya sungguh sedap dan lebih nikmat. Tidak menampik ‘tipuan’ rasa lidah yang mengecap demikian, karena jelas saja, lemak ayam yang terlarut dan bumbu rempah dari tepung ayam juga memberikan rasa sendiri.

 Akan tetapi, larutnya lemak ayam dalam minyak goreng bekas tersebut juga membawa seluruh kejelekan lemak dari ayam potong, yang mengandung banyak hormon penggemuk dan antibiotik dalam ayam itu.

Ada lagi kelompok yang tak berhati nurani, yang menggunakan oli bekas sebagai bahan campuran minyak goreng daur ulang untuk menangguk keuntungan yang lebih banyak lagi. Oli bekas di’treatment secara khusus, sehingga bau sangit terbakar mesin kendaraan hilang, warna yang dimiripkan dengan minyak goreng, dicampurkan dengan minyak goreng, dan dijual lagi.

Itulah potret masyarakat luas kita. Dari pengguna sampai para ‘pengacaunya’. Para pengguna dengan dalih kemiskinan (lagi!) akan berkilah membeli minyak goreng dalam kemasan lebih mahal daripada minyak goreng curah dan dapat dibeli eceran. Sungguh keblinger pendapat seperti itu! Minyak goreng curah tidak lebih murah dari minyak goreng kemasan.

Jadi, apa kesimpulannya dari tulisan berseri yang panjang ini?

  • Pemahaman dan pendidikan secara luas dalam masyarakat diperlukan
  • Tidak selamanya mi instan itu jelek, asal tahu batasan dan pemahaman yang benar, mengonsumsi mi instan tidak akan menimbulkan masalah kesehatan (mungkin mirip dengan: “merokok tidak berbahaya, selama tidak dinyalakan”)
  • Pembenaran dengan dalih kemiskinan adalah hal yang selalu didengungkan, dikedepankan oleh siapa saja, baik dari kaum marginal itu sendiri, sampai dengan para elite politik yang mengatasnamakan rakyat dan kemiskinannya
  • Wong cilik dengan segala permasalahannya sebenarnya bisa dipecahkan dengan kesadaran bersama, collective learning, collective awareness, tidak perlu sekolah tinggi dan rumit, yang penting adalah pemahaman dan common sense sederhana

Mari kita mulai dari diri kita dan sekitar kita untuk menularkan pemahaman sederhana kita, tentang apa saja. Semoga mencerahkan…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com