Manusia vs industri pangan
Industri pangan yang berlomba menciptakan ribuan jenis pangan baru yang seabad lalu bahkan tak ada di rak swalayan, menyebabkan manusia mempunyai ‘normalitas baru’ sebagai konsumennya.
Bisa dibayangkan, wajah anak Indonesia mengunyah sereal dari kotak sambil tersenyum mempertontonkan pipi obesitasnya.
Tentu saja, produsen mengklaim betapa sehatnya makanan baru tersebut dari deretan komposisi yang terpampang di dusnya, membuat publik lupa bahwa tubuhnya tidak semata-mata terbuat dari apa yang tertulis di sana.
Atau artis pengiklan menyandingkan sereal dengan sayur dan buah sebagai pemanis dan sambil lalu menyampaikan pesan gizi, bahwa sayur dan buah itu penting. Faktanya, mana ada orang normal sarapan sereal dengan sayur dan buah.
‘Makan yang bukan makanannya’, membuat sistem tubuh berantakan. Keengganan kembali ke hukum kodrat menyebabkan intervensi industri kesehatan memperoleh ruang.
Manusia merasa ‘sembuh,’ sementara dengan kecanggihan teknologi dan industri kesehatan – yang juga tentu saja membiarkan manusia kembali ke industri pangan, hingga kembali sakit lagi dan masuk industri kesehatan kembali. Lempar melempar ini menjadi fenomena abstrak, yang tentunya tidak disadari.
Jangan salah kaprah, bukan berarti teknologi kedokteran bermakna bisnis dan negatif belaka. Rumah sakit dengan teknologi tinggi jelas diperlukan.
Rekonstruksi tubuh pasca kecelakaan, anomali bawaan lahir yang membutuhkan pembenahan, kealpaan merawat tubuh yang mau tak mau membuat salah satu pembuluh darah harus dibenahi – semua itu hanya bisa diselamatkan berkat kemajuan teknologi.
Tapi, bukan dengan pengabaian kodrat manusia untuk mampu berubah dan kembali ke gaya hidup sehat.
Dalam hal ini, pemerintah adalah wasit penyeimbang. Sehingga, iklan industri apa pun yang pada dasarnya mencari keuntungan dinetralisir oleh informasi jujur yang memberdayakan manusia merawat tubuhnya, yang mengajarkan manusia menjadi sehat dengan cara yang lebih hemat. Termasuk menghemat biaya berobat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.