Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Makanan dan Kesehatan: Industri Masa Kini

Kompas.com - 17/03/2016, 19:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Hampir sebagian besar penduduk kota metropolitan di atas usia 50 kini sudah menjadi ‘pecandu’ satu plastik obat-obatan yang tak jauh dari masalah darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi dan pengentalan darah yang tidak normal.

Bahkan, para dokter di Singapura mengandaikan pemasangan stent alias cincin jantung adalah hal yang lumrah di usia paruh baya – selumrah tindik telinga demi mendongkrak penampilan.

Walaupun nyata-nyata disebutkan, bahwa deretan penyakit di atas berasal dari gaya hidup dan tidak mungkin hanya menggantungkan diri pada obat dan teknologi, selain memperbaiki gaya hidup itu sendiri, faktanya tidak ada terobosan signifikan mengusung perbaikan cara hidup maupun pola makan yang benar.

Tak kalah menarik, masalah kesehatan seperti di atas seakan-akan ditantang dengan semakin ganasnya bisnis makanan, yang sengaja diciptakan untuk memuaskan kecanduan lidah dan kelaparan manusia.

Euforia wisata diwarnai embel-embel makan enak, yang dikenal dengan istilah wisata kuliner, tak jarang ini digunakan sebagai kesempatan memuaskan kebebasan lidah tanpa kendali.

Anomali lagi, kuliner yang dinikmati sebenarnya bukan khasanah pangan asli tempat wisata tersebut, melainkan reka rasa yang ‘disesuaikan tuntutan jaman’ mulai dari konten, bumbu jadi, imbuhan demi memperpanjang umur kadaluwarsa, hingga tampilan jual.

Nama makanan boleh asli, tapi dari gula, tepung hingga nasi dengan porsi jauh lebih besar yang ternyata produk rafinasi.

Para dokter konvensional tak jarang tertawa sinis, bahkan bernada sarkastis mengomentari perbaikan pola makan dan begitu percaya bahwa manusia atas nama hak makan enak, sangat tidak mungkin diberi kesadaran idealis untuk mengubah apa yang dimakan.

Bisa jadi, para dokter itu tidak paham koneksivitas nature and nurture, bahwa kenikmatan manusia makan, tidak hanya tergantung dari apa yang dimakan.

Bahwa kenikmatan lidah pun merupakan tempaan pembiasaan dan pembelajaran. Belum lagi, jika pasien akhirnya belajar, bahwa kenikmatan hidup juga berarti tubuh bugar bebas obat dan penyakit.

Di atas semua itu, ternyata teknologi adalah kata kunci. Teknologi membuka peluang, baik industri pangan maupun industri kesehatan. Padahal manusia itu bukan produk teknologi, satu pun ciri teknologi tak melekat pada diri manusia. Manusia adalah entitas biologi yang mempunyai hukumnya sendiri.

Sementara teknologi, membutuhkan teknologi dengan tingkatan lebih tinggi lagi untuk menyelesaikan kerusakan atau masalah yang muncul. Maka, manusia dalam menghadapi penyakitnya mau tak mau harus kembali pada kodrat alamiahnya.

Bahkan, semua reparasi mekanikal organ tubuh manusia berpulang pada kemampuan tubuh itu sendiri untuk bertahan atau menyerah.

Tak banyak kesadaran yang timbul dari kenyataan "lingkaran setan" yang kini tengah dihadapi, dengan manusia berada di tengah sebagai pelengkap penderita.

Manusia vs industri pangan

Industri pangan yang berlomba menciptakan ribuan jenis pangan baru yang seabad lalu bahkan tak ada di rak swalayan, menyebabkan manusia mempunyai ‘normalitas baru’ sebagai konsumennya.

Bisa dibayangkan, wajah anak Indonesia mengunyah sereal dari kotak sambil tersenyum mempertontonkan pipi obesitasnya.

Tentu saja, produsen mengklaim betapa sehatnya makanan baru tersebut dari deretan komposisi yang terpampang di dusnya, membuat publik lupa bahwa tubuhnya tidak semata-mata terbuat dari apa yang tertulis di sana.

Atau artis pengiklan menyandingkan sereal dengan sayur dan buah sebagai pemanis dan sambil lalu menyampaikan pesan gizi, bahwa sayur dan buah itu penting. Faktanya, mana ada orang normal sarapan sereal dengan sayur dan buah.

‘Makan yang bukan makanannya’, membuat sistem tubuh berantakan. Keengganan kembali ke hukum kodrat menyebabkan intervensi industri kesehatan memperoleh ruang.

Manusia merasa ‘sembuh,’ sementara dengan kecanggihan teknologi dan industri kesehatan – yang juga tentu saja membiarkan manusia kembali ke industri pangan, hingga kembali sakit lagi dan masuk industri kesehatan kembali. Lempar melempar ini menjadi fenomena abstrak, yang tentunya tidak disadari.

Jangan salah kaprah, bukan berarti teknologi kedokteran bermakna bisnis dan negatif belaka. Rumah sakit dengan teknologi tinggi jelas diperlukan.

Rekonstruksi tubuh pasca kecelakaan, anomali bawaan lahir yang membutuhkan pembenahan, kealpaan merawat tubuh yang mau tak mau membuat salah satu pembuluh darah harus dibenahi – semua itu hanya bisa diselamatkan berkat kemajuan teknologi.

Tapi, bukan dengan pengabaian kodrat manusia untuk mampu berubah dan kembali ke gaya hidup sehat.

Dalam hal ini, pemerintah adalah wasit penyeimbang. Sehingga, iklan industri apa pun yang pada dasarnya mencari keuntungan dinetralisir oleh informasi jujur yang memberdayakan manusia merawat tubuhnya, yang mengajarkan manusia menjadi sehat dengan cara yang lebih hemat. Termasuk menghemat biaya berobat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com