Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pembiaran: Menebar Kesempatan, Menuai Pembodohan dan Kerusuhan

Kompas.com - 20/07/2016, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Dalam waktu sebulan, begitu banyak fenomena seputar kesehatan terjadi di negri ini. Mulai dari perlecehan seksual, obesitas luar biasa, hingga vaksin palsu – yang bukan suatu kebetulan – korbannya semua berkisar di dunia anak.

Sebagian besar orang menyebut kejadian-kejadian tersebut hanyalah fenomena puncak gunung es, yang artinya baru terkuak satu-dua kasus, berkat kegencaran teknologi media.

Ibarat gunung es di laut, setiap saat air menyurut, penampakan gunung raksasa semakin mengerikan memperlihatkan kian banyak hal yang sebelumnya tertelan dari pandangan.

Jika mau diurut ke belakang, semua masalah itu bermuara pada satu kata yang amat terlalu sering muncul di negri ini: pembiaran.

Pembiaran berimbas pada pembiasaan – sehingga tak ada seorang pun yang menyadari bahwa anomali sebenarnya telah terjadi.

Terlalu banyak orangtua yang sebenarnya belum siap menjalankan peran sebagai orangtua, berakibat fatal saat anak-anak hadir.

Perilaku yang jauh dari gaya hidup sehat, kebiasaan pola makan salah kaprah, semua menjadi contoh yang diam-diam ditiru anak. Tidak pandang jenjang ekonomi, perlecehan, obesitas, korban layanan kesehatan bisa mengintai siapa saja.

Padahal, perkawinan berlandaskan agama di negri ini mengharuskan pasangan sebelum menikah mengikuti kursus singkat menjadi pasangan suami istri dan calon ayah ibu.

Jika kursus ini dianggap bermanfaat, disampaikan oleh ahli yang kompeten dan dijalankan dengan benar, sebagian besar perkara yang menimpa anak tidak mungkin terjadi.

Namun, euphoria pasangan calon pengantin yang hanya fokus pada pesta, pamer keluarga atau persiapan yang terburu-buru akibat kehamilan yang di luar rencana, kursus persiapan perkawinan akhirnya hanyalah sekadar ‘syarat’ yang banyak pasangan mengaku mengabaikannya, bahkan dirasa sebagai birokrasi menyebalkan.

Tidak ada sekolah menjadi orangtua. Betul sekali. Tapi, proses menjadi orangtua pun kerap tak terjadi karena fokus kehidupan, seputar pemenuhan kebutuhan materi yang kelihatannya tak pernah ada kata ‘cukup’ – di semua lapisan sosial ekonomi.

Tidak punya waktu bagi pasangan berujung menjadi hilang waktu bagi anak-anak. Isi pembicaraan dalam keluarga pun dangkal, sekadar menanyakan sudah makan belum, pulang jam berapa, besok ulangan apa – atau pemberitahuan ayah pulang telat, karena lembur.

Kedalaman hati dan perilaku afeksi, akhirnya dicurahkan pada orang-orang yang semestinya berada di luar lingkaran. Perlecehan fisik pun rentan terjadi.

Waktu 24 jam yang terburai untuk berkutat dengan uang, asyik dengan tontonan yang tidak menuntun, atau "tertelan" pergaulan dunia maya membuat manusia mencari kepraktisan memelihara dirinya – yang seharusnya mendapat waktu lebih.

Alasan dengan membeli makanan hidup jadi lebih praktis ketimbang harus memasaknya. Kebiasaan ini pun menular pada anak, menyebabkan mereka mempunyai ‘normalitas yang baru’ tentang prinsip pola makan.

Iklan-iklan produk industri makanan yang kian liar dan menjadi-jadi menyebabkan kecanduan baru yang tak terelakkan. Ketimpangan informasi, ketidakhadiran negara untuk menyeimbangkan kebenaran tentang kesehatan mengakibatkan kekisruhan kian ruwet.

Malnutrisi ganda melanda bangsa ini. Dari anak yang kurus kering tulang berbungkus kulit, hingga kelebihan berat badan sekian ratus kilo.

Begitu pula semakin banyak orang tanpa latar belakang kesehatan formal mengaku pakar, mengajar pelbagai jenis diet aneh, menulis buku “kesehatan”, bahkan dijadikan narasumber dimana-mana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com