Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/08/2016, 11:00 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Obesitas atau kelebihan berat badan pada anak sudah menjadi epidemi pada 25 tahun terakhir. Penderita terbanyak memang di negara maju, tapi belakangan ini jumlah penderita di Indonesia meningkat pesat.

Kasus kelebihan berat badan pada kalangan anak usia di bawah lima tahun, meningkat menjadi 14,2 persen tahun 2010 dari sebelumnya 12,2 persen di tahun 2007.

Adapun prevalensi obesitas pada kalangan usia 18 tahun ke atas, dari 19 persen tahun 2007 naik menjadi 21,7 persen pada 2010.

"Anak-anak yang orangtua obesitas atau kegemukan, sekitar 50-80 persen juga akan kegemukan. Anak-anak dan remaja yang kegemukan juga akan obesitas di usia dewasa," kata dr.Indrarti Soekotjo, spesialis kedokteran olahraga, dalam acara media edukasi "Yuk Main di Luar" yang diadakan oleh Nuvo Family dan Forum Ngobras di Jakarta (23/8/16).

Obesitas terjadi karena penumpukan lemak yang berlebihan secara menyeluruh di bawah kulit dan jaringan lainnya di dalam tubuh.

Di Indonesia, obesitas juga sudah digolongkan sebagai penyakit karena itu tidak boleh dibiarkan.

Menurut dr.Titi, panggilan akrab Indrarti, obesitas adalah gemuk yang tidak lucu lagi karena anak beresiko mengalami berbagai komplikasi penyakit.

Timbunan lemak dalam tubuh memang menjadi salah satu faktor risiko munculnya beragam penyakit, tak terkecuali pada anak-anak.

Risiko yang dihadapi anak obesitas antara lain hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes tipe 2, gangguan pertumbuhan tulang, asma, sleep apnea, hingga depresi karena merasa rendah diri.

Pada anak perempuan, kegemukan juga menyebabkan pubertas dini. Kondisi tersebut akan memicu beragam gangguan lain, termasuk osteoporosis, hingga tinggi badan cenderung pendek.

Ajak gerak

Orangtua memegang peran besar dalam kondisi obesitas anak. Selain pola makan yang tidak tepat sehingga anak kelebihan kalori, seringkali anak juga dibiarkan kurang aktif bergerak. Paparan gadget dan kebiasaan menonton televisi juga membuat anak lebih banyak duduk diam.

"Karateristik alamiah anak adalah bergerak. Sejak lahir, ia bergerak saat belajar telungkup, merangkak, dan berjalan. Hanya memang semakin besar orangtua sering membatasi pola alamiah anak ini dan lebih suka jika anaknya diam," kata dr.Titi.

Untuk itu ia mengajak orangtua agar kembali menumbuhkan kebiasaan aktif bergerak.
Aktivitas fisik yang dilakukan anak bisa dilakukan secara bertahap, mulai dari yang ringan, sedang, sampai berat. Pada anak, mereka dianjurkan melakukan aktivitas fisik 60 menit setiap hari.

Presenter Sophie Navita yang juga inisiator gerakan #IndonesiaMakanSayur, mengatakan selalu berusaha memberikan contoh pola makan sehat dan aktivitas fisik pada kedua anak laki-lakinya.

"Aktivitas di luar rumah sudah menjadi aktivitas wajib di keluarga kami. Beruntung sekarang ini kami tinggal di Bali sehingga banyak aktivitas luar ruang yang bisa dilakukan, mulai dari hiking, ke pantai, atau main layangan," katanya.

Menurut dr.Titi, prinsipnya orangtua harus terlibat aktif dan membuat kegiatan fisik itu menyenangkan bagi anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com