Meski terjadi berulang, masyarakat tak cukup mengambil pelajaran dari setiap masalah yang terjadi. Kebiasaan berpikir memakai rasa itu disuburkan dengan sistem pendidikan di sekolah yang tak mengajarkan berpikir kritis karena lebih mengutamakan hapalan.
Pola pikir emotif itu juga didukung karakter masyarakat yang memahami agama bukan dengan cara berpikir, tetapi menerima begitu saja. "Itu adalah ciri masyarakat emotif, menerima apa adanya, dan enggan berpikir. Akibatnya, masyarakat amat sensitif dengan hal-hal berbau agama," tutur Taufiq.
Masyarakat emotif juga amat dipengaruhi simbol. Dalam beragama, mereka cenderung ritualistik dan memaknai agama secara hitam-putih. Meski manusia Indonesia dinilai munafik, permisif dan hipokrit, hal-hal berbau religius masih jadi perhatian. Mereka sensitif dengan hal-hal yang dianggap baik, termasuk agama, tetapi tak sensitif dengan sesuatu yang buruk.
Mereka juga menjadikan agama sebagai simbol belaka, tak termanifestasikan dalam perilaku. Karena itu, meski mereka memiliki ritual bagus, agama tak jadi bagian dalam pengambilan keputusan.
Walau mereka menangis saat ikut doa bersama atau mengikuti pelatihan motivasi, hanya sebagian nilai agama yang membekas setelah acara selesai.
"Kondisi itu membuat mereka yang dinilai religius atau menyosokkan diri religius akan dianggap melakukan pelanggaran lebih berat dibandingkan mereka yang tak menonjolkan sisi religiusnya meski bobot kesalahannya sama," ujarnya. Itulah yang membuat penyanyi yang pernah terlibat kasus pornografi bisa diterima, bahkan kembali disukai warga.
Kemampuan bernalar
Avin menambahkan, dengan kemampuan menalar rendah, masyarakat menilai seseorang berdasar informasi permukaan atau citra visualnya saja. "Nalar yang terbatas membuat kita mudah tertipu citra," katanya.
Selain itu, landasan moral masyarakat dipengaruhi norma sosial. Media sosial kian mendukung norma sosial itu. Meski orangtua menanamkan integritas moral sebaik apa pun, saat dihadapkan norma sosial yang tak mendukung integritas moral itu, mayoritas warga memilih mengikuti norma sosial masyarakat.
"Meski orangtua mengajarkan kejujuran, karena sebagian birokrasi menciptakan ketidakjujuran tak apa-apa, lebih banyak orang memilih tak jujur," ucapnya.
Mengikuti pola lingkungan tak jadi soal jika berpengaruh positif. Di Indonesia, tak semua lingkungan sosial kondusif membuat orang berbuat baik atau menjaga moral.
Cara berpikir yang mengedepankan rasa hingga mudah menilai, membuat masyarakat mudah diprovokasi dan dibenturkan. Warga cenderung melihat perbedaan, bukan persamaan. "Jika tak dibenahi, bangsa Indonesia rentan terpecah belah oleh hal sepele," kata Taufiq.
Pada beberapa suku bangsa di Indonesia, pola pikir mengutamakan rasa itu amat kuat. Belum lagi kekayaan alam melimpah membuat tak perlu usaha besar demi mendapat sesuatu. Penjajahan Belanda selama 350 tahun yang tak membangun pendidikan umum, hanya bagi elite tertentu, memperparah kondisi itu.
Hal itu membuat bangsa Indonesia tak terbiasa mengolah pikiran, apalagi berpikir bebas. Cara pikir pendek juga membuat bangsa Indonesia sulit berpikir kritis dan kreatif sehingga kurang mampu berinovasi.
Meski demikian, kondisi itu bisa diubah, seperti yang dilakukan negara-negara Asia lain yang pola relasinya sama. "Pendidikan ialah teknologi yang bisa mengubah manusia berpikir lebih baik," ujar Taufiq.
Pendidikan yang mengajarkan daya pikir berdasar olah pikir akan membuat manusia Indonesia bisa mengendalikan emosi sehingga bisa mengambil tindakan berdasarkan pemikiran matang.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Saat Menilai dengan Emosi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.