Sebagai kader juru pemantau jentik di RT-nya, Juwariyah sadar keberhasilan vaksin berkontribusi besar bagi pengendalian kasus DBD. Ia pun mendekati tetangga dan kenalannya agar mengikutkan anak mereka sehingga jumlah subyek riset sesuai kebutuhan.
Ia mendorong kakaknya mengikutkan anaknya. "Awalnya, kakak saya ngeledek, ah buat percobaan aja ini. Akhirnya, ia bersedia," ujarnya.
Uji efikasi
Anak-anak Eka dan Juwariyah adalah bagian subyek riset efikasi (manfaat) dan keamanan vaksin demam berdarah Novel Tetravalen pada anak sehat usia 2-14 tahun di Asia. Itu studi efikasi fase III di lima negara, yakni Thailand, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.
Di Indonesia, selain Jakarta, riset dilakukan di Denpasar dan Bandung. Ada 10.275 anak jadi partisipan. Studi serupa dilakukan di lima negara Amerika Latin.
Studi itu bagian dari riset vaksin dengue, bernama Chimeric Yellow Fever 17D-Tetravalent Dengue Vaccine (CYD-TDV) selama 20 tahun.
Prof Sri Rezeki Hadinegoro, peneliti utama vaksin CYD-TDV di Indonesia, mengatakan, hasil riset menunjukkan efikasi vaksin CYD-TDV 65,6 persen. Vaksin itu bisa menekan kasus dengue 80,8 persen dan mengurangi dengue berat 92,9 persen.
Namun, vaksin dengue yang diberikan tak memberikan perlindungan 100 persen. Karina dan Annisa kena DBD. Seusai penyuntikan vaksin ketiga, Karina demam dua hari dan dibawa ke puskesmas. Menurut dokter, Karina positif terkena DBD, tetapi tak perlu dirawat inap karena trombositnya di batas normal.
"Dokter mengatakan, meski sakit, badannya tak terlalu lemas," kata Juwariyah.
Dari pengalaman itu, Eka dan Juwariyah bersyukur anak-anak mereka menjadi subyek riset vaksin dengue. Mereka menilai, anak yang diberi vaksin lebih kuat dibandingkan yang tak mendapat vaksin jika kena DBD.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.