Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hadiah Akhir Tahun dari MA dan Menanti Presiden Ratifikasi FCTC

Kompas.com - 14/12/2016, 15:53 WIB
Dian Maharani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun demi tahun berganti, Presiden Joko Widodo belum juga meratifikasi Farmework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau.

Sampai tahun 2016 ini, Indonesia masih menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani FCTC.

Kurang dari 8 negara saja di dunia yang belum meratifikasi FCTC, salah satunya tentu Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok yang tertinggi.

Data ASEAN Tobacco Atlas tahun 2014 menunjukkan, prevalensi merokok penduduk laki-laki di Indonesia tertinggi di ASEAN, yaitu 66 persen.

Ironisnya, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar merokok di kalangan remaja (15-19 tahun) meningkat drastis, dari 7 persen pada 1995 dan menjadi 20 persen pada 2013.

Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany mengatakan bahwa, ratifikasi FCTC tentu menjadi sangat penting bagi Indonesia. FCTC merupakan pengendalian tembakau yang sangat komprehensif untuk melindungi anak-anak atau generasi muda dari dampak buruk tembakau.

Menurut Hasbullah, hambatan ratifikasi FCTC yaitu karena pemerintah terkecoh dengan banyakmya manipulasi informasi dari pihak-pihak tertentu. Lobi kuat dari industri rokok juga diduga menjadi hambatan Indonesia belum juga ratifikasi atau aksesi FCTC.

Bahkan, sangat disayangkan ketika Kementerian Perindustrian membuat Peta Jalan (roadmap) Industri Hasil Tembakau Tahun 2015 – 2020 yang tertuang dalam Permenperin 63/2015.

Peta jalan itu menargetkan adanya peningkatan produksi rokok dengan pertumbuhan 5 -7,4 persen per tahun sampai tahun 2020 atau membuat total produksi rokok akan menjadi 524,2 miliar batang pada tahun 2020.

Peta jalan itu tentu tidak sejalan dengan peta jalan Kementerian Kesehatan yang ingin menurunkan prevalensi perokok.

M. H. Panjaitan, Hery Chariansyah, H. Kartono Mohamad, Hias Dwi Untari Soebagio, Widyastuti Soerojo, dan Elysabeth Ongkojoyo kemudian mengajukan uji materi Permenperin, karena keberatan terhadap peta jalan itu ke Mahkamah Agung (MA).

Hadiah tahun baru dari MA pada 6 Desember 2016 lalu, tim kuasa hukum pemohon mendapat putusan resmi dari MA mengenai uji materi Permenperin 63/2015. MA meminta Permenperin tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 itu dicabut.

Menurut Hasbullah, putusan tersebut merupakan hadiah akhir tahun dari MA. "Secara implisit dari permintaan MA mencabut roadmap adalah bahwa pemerintah seharusnya melindungi rakyatnya, tidak memudahkan penjualan rokok, apalagi memperbanyak. Ini hadiah akhir tahun dari MA untuk rakyat," kata Hasbullah kepada Kompas.com, Rabu (14/12/2016).

Dengan adanya putusan tersebut, lanjut Hasbullah, presiden seharusnya tak ragu lagi untuk segera meratifikasi FCTC. Harapannya, Indonesia menjadi negara yang sudah meratifikasi FCTC tahun 2017.

Hasbullah mengatakan, ratifikasi FCTC untuk melindungi generasi muda dari bahaya rokok. Jika sejak remaja sudah merokok, mereka dapat menjadi generasi tidak sehat di masa mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com