Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 15/12/2016, 07:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Berulang kali saya dengar keluhan seperti judul di atas, bukan hanya di kamar praktik tapi juga di banyak berita seputar isu kesehatan.

Tak terima begitu saja, mulailah saya ‘bergerilya’. Dari bertanya lebih dalam hingga membaca lebih teliti. Duh, ternyata apa yang saya temukan semakin membuat hati miris.

Istilah ‘sehat’ semata-mata masih dianggap rajin olah raga, tidak menyentuh gorengan, jarang makan di luar rumah dan anti makanan dengan pengawet apalagi pewarna.

Sarapan dengan roti gandum dan havermut (yang keduanya tidak tumbuh di bumi Indonesia) dianggap sudah sehat.

Mengganti gula pasir dengan madu organik dianggap pasti tidak akan memicu diabetes. Menyantap bakmi hijau dipikir lebih menyehatkan ketimbang bihun goreng. Lebih parah lagi, rokok ‘herbal’ dikira lebih aman dibanding kretek!

Label ‘sehat’ yang kerap dijual murahan oleh para produsen, akhirnya diadopsi sebagai ‘normalitas yang baru’ oleh para konsumen yang sama sekali tidak mendapat informasi pengimbang tentang istilah sehat yang sebenarnya.

Korbannya bukan hanya orang dewasa yang jurus bacaannya terbatas, tapi anak-anak yang baru saja belajar tentang mana yang baik dan yang tidak.

Budaya ngemil pun tak luput dari incaran pedagang dan produsen. Menyitir kepercayaan usang budaya kolonial, semua yang bersusu dianggap sehat dan baik. Mulai dari susu kental manis hingga biskuit kemasan dengan iming-iming ‘mengandung semua kebaikan susu’.

Upaya keras mendorong ASI eksklusif akhirnya porak poranda begitu usia makanan pendamping mulai masuk dengan pelbagai rasa artifisial, termasuk rasa susu yang tidak sama dengan milik ibunya. Yang pasti, tidak mempunyai kualitas dan daya dukung pertumbuhan serta perlindungan seampuh susu ibu.

Menginjak usia yang lebih besar bahkan hingga dewasa, kepercayaan-kepercayaan tentang pangan sehat semakin rancu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+