Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Sudah Hidup Sehat, Kok Masih Sakit?

Kompas.com - 15/12/2016, 07:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Belum lama ini saya sengaja bermalam di Semarang selepas urusan pekerjaan dengan harapan menemui para jagoan soto ayam, mangut, lumpia basah dan pelbagai makanan peranakan di sepanjang pasar Semawis.

Tapi betapa kaget dan kecewanya saya, karena hampir 70% tenda dikuasai makanan asing di luar Semarang, sebut saja yang berbahasa Korea dan Jepang – yang bukan hanya ‘deep fried’ – tapi juga tidak dianggap sehat di negri asalnya.

Apalagi minuman aneka warna dengan campuran buah diberi pemanis. Hanya ada satu penjual soto ayam asli. Itu pun peminatnya tidak banyak.

Begitu pula saat festival durian meramaikan salah satu mal besar – panggung durian ‘sungguhan’ hanya satu.

Selebihnya lapak-lapak yang menjual berbagai hal ‘tentang durian’. Mulai dari es krim (yang duriannya entah hanya rasanya saja atau sekian persen sarinya), hingga pangan olahan lain yang karena intervensi pengolahan akhirnya harus mencantumkan ijin BPOM, sementara durian sungguhan tidak.

Hal satu inilah yang sebenarnya sangat definitif untuk membedakan antara mana makanan alamiah dan mana yang tidak.

Belum selesai istilah ‘hidup sehat’ dibahas dari sisi makanan, masih ada kontributor lain lagi. Sebut saja pemakaian penyemprot ruangan yang begitu liar promosinya, penggunaan wadah plastik (jangan hanya menyalahan styrafoam!), juga alat masak anti lengket, polusi kendaraan bermotor hingga buangan pabrik, semuanya itu baru sekian persen dari seluruh kontributor penyakit yang datang tanpa permisi: kanker.

Di sisi lain, penelitian yang berbasis kesehatan masyarakat belum mendapat tempat – yang lagi-lagi masalah dana menjadi kambing hitamnya.

Sementara korban sudah banyak dan kian bertambah, para dokter masih berdalih klasik jika ditanya penyebab penyakit: entah keturunan atau ‘belum diketahui sebabnya’.

Sementara itu, pelaku bisnis dan industri semakin giras dan garang mempertontonkan kekuasaannya.

Harga rokok semakin murah (mudah diketahui karena sepanjang jalan raya dipasang spanduk berdiri dengan harga mencolok), pasar dibanjiri produk industri, sedangkan pangan alamiah kian mahal, jargon kepraktisan hidup dikibar-kibarkan meninggalkan upaya mempertahankan kodrat. Publik pun semakin bingung dengan istilah ‘hidup sehat’.

Satu hal kekhawatiran saya yang mudah-mudahan tak akan terjadi: kerja keras mengembalikan rakyat agar mengonsumsi sayur dan buah untuk pencegahan penyakit akhirnya dimanfaatkan pelaku industri menciptakan pil sayur dan buah, biskuit rasa buah, bubuk pelangsing dengan ekstrak sayur dan buah. Seakan-akan kita semua akan pindah ke bulan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com